September kali ini hujan tidak lagi terukur, curahnya begitu lebur, tak tampak lagi perbedaan hujan atau tangisan. Air seperti memadat, mengalir perlahan memenuhi halaman seperti coklat susu, menguak tanah yang rendah yang membawanya ke tepi hilir.
Di dalam rumah, bapak duduk diam tak bergerak, cahaya di meja makan temaram, padahal pagi sudah jauh terlewat. Secangkir kopi habis  direguknya sedangkan roti hanya setengah tangkup yang dimakannya. Bapak duduk seperti berhenti, tidak bergerak apalagi berbicara. Pandangannya lurus kedepan, menatap hujan di jendela, matanya tidak berkedip seperti memusuhi hujan.
Burung-burung itu tidak ada yang datang, Le? Bapak bergumam, tapi saya masih mendengarnya.
Tak ada satupun pak. Mungkin menunggu sebentar hujan akan berhenti dan terang! Jawab saya menenangkannya. Tapi bapak tampak sengaja tidak mendengarkan. Lalu saya bangkit menepuk pundak orang tua itu, sembari membawa perangkat kotor bekas sarapan ke dapur.
Ada baiknya kita tunda saja ke nanti sore! Teriak saya dari balik dinding ruang dapur, tapi saya hanya mendengar jawaban hujan.
Sekembali saya ke meja makan, bapak masih membeku, membuat saya hilang  frasa akan kata selanjutnya.
Bapak harus kesana, Le! Tiba-tiba bapak berdiri dan berjalan menuju ke pintu depan rumah.
Sebentar pak! Saya menyambar sebuah payung dan bergegas menyongsong bapak.Â
Lalu tak lama kami sudah berhimpitan berpayung menembus hujan. Perlahan kami menguak tirai hujan dan melangkah hati-hati untuk  menghindari kubangan di tanah yang mengalir. Tujuan kami memang tak jauh namun hujan kali ini seperti bah, sementara kemauan bapak ternyata lebih lebat dari tumpahan air langit ini.
Memang, sejak kematian ibu tujuh hari lalu, bapak seakan berjanji kepada dirinya sendiri untuk nyekar ke makam ibu setiap hari. Suami tua ini begitu kehilangan atas kepergian istrinya, dan saya sebagai anak perempuan satu-satunya sangat paham.Â
Beruntung setiba di tanah yang berbunga, hujan telah mereda sehingga kami sedikit leluasa berdoa di tanah ibu. Bapak begitu lama memanjatkan kata seolah mengosongkan ruang batinnya, untuk kekasih tercintanya. Mata tuanya berkilat seperti kaca yang lalu mengembun dan melinang.Â
Saya mendekapnya dan merasakan cintanya kepada ibu sekaligus cintanya kepada saya. Saya ikut larut dan menangis melihat bapak tersayang begitu lelah setelah ibu pergi dan saya pun ikut mengenang keduanya bersama pada malam-malam musim hujan yang dingin. Saya begitu bersedih, apalagi bapak.
Kami pulang ke rumah ketika hujan sudah mengering, air jalanan juga sudah menyurut. Terlihat beberapa burung beterbangan melepas hujan. Bapak memandangi beberapa burung di atas kepalanya.
Burung-burung itu,Le! Kata bapak membuka kantung plastik berisi roti yang dibawanya, lalu menebarkannya ke tanah. Serta merta burung-burung kecil itu menyambut remah-remah yang berserak, mahluk bersayap itu mematuk-matuk seperti kelaparan.
Saya baru menyadari bahwasetelah kepulangan ibu, bapak  kadang memberi remah-remah burung di sekitar rumah kami, pantas saja beberapa hari terakhir ini banyak burung berjejer di dahan dan kawat listrik rumah kami. Rupanya mereka menunggu remah-remah pemberian bapak.
Burung-burung itu begitu kurus dan menggigil, Pak! Sahut saya memperhatikan unggas merana itu. Bapak mengangguk setuju.
Remah-remah begitu irit, dan mereka begitu berharap! Kata bapak.Â
Lalu kami lanjut berjalan, sampai satu ketika langkah bapak berhenti, tepat di depan pos keamanan yang sudah tidak terpakai.Â
Kau pulang saja dulu, Le! Aku mau melihat burung-burung itu! Kata bapak sambil menghampiri pos ronda rusak. Saya lihat memang cukup banyak burung-burung kecil berkeliaran di dalamnya. Saya baru menyadarinya selama ini, kalau pos bekas itu ternyata ditempati oleh para unggas kecil itu. Saya menuruti perintah bapak untuk pulang terlebih dahulu, sambil memandangi burung-burung kecil yang pucat dan berbulu basah disana.
Dari kejauhan jarak, saya lihat bapak memasuki pos kayu lusuh itu namun burung-burung di dalam dan sekitarnya tak terlihat  beterbangan atau bahkan beranjak. Ada sedikit ragu meninggalkan bapak disana, tapi saya pikir  barangkali hal ini bisa menghibur kesedihan bapak. Tak mengapa, pikir saya.
Waktu menunjukkan tengah hari lewat, hati saya khawatir karena bapak belum juga tiba di rumah, sehingga saya memutuskan pergi menjemputnya.  Saat mendekati  kotak rumah hansip itu saya tidak mendengar apa-apa, hanya suara sepi, namun segera saja mata saya melihat bapak di dalamnya seperti tertidur dengan posisi duduk dikelilingi burung-burung mungil.Â
Saya juga melihat , semua mahluk kecil bersayap itu tergeletak membeku di lantai pos. Sedikit bergidik, saya memegang bahu bapak perlahan dan beliau merespon terkejut, saya pun bernapas lega bahwa bapak ternyata tidak kurang suatu apa. Lalu saya mengambil tangan bapak dan membawa lelaki tua tercinta itu pulang.
Burung-burung di pos itu telah mati semua, pak! Kata saya.
Iya Le! Mereka bersedih karena remah-remah itu begitu kikir, sementara hujan yang lembut begitu melimpah dan murah hati untuk dipilih! Kata bapak hampir tak terdengar. Saya mendiamkannya tanpa menjawab karena tak mengerti akan apa yang bapak ucapkan.
***
Keesokan pagi di meja sarapan saya kembali melihat bapak mematung memandang hujan di jendela, kali ini kopi masih tersisa setengah dan roti yang remah-remah ada di piringnya.Â
Saya lalu melihat bapak memakan remah-remah itu dengan cepat sampai bersih seperti seekor burung, sementara dari jendela hujan tampak terus melimpah dan murah hati.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H