Mohon tunggu...
Band
Band Mohon Tunggu... Supir - Let There Be Love

(PPTBG) Pensiunan Penyanyi The Bee Gees

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Harimau Bibi

16 Agustus 2021   15:01 Diperbarui: 16 Agustus 2021   15:03 209
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Imaged by pixabay.com

Harimau itu menggeliat melintasi layar. Kata Bibi kepadaku, harimau itu tak pernah takut pada orang-orang yang bergerombol memburunya. Di padang hijau harimau itu berjingkrak seakan mengejek tak ada yang lebih garang daripada dia.

Bahkan Bibi terlihat begitu takut di sepanjang hidupnya, bagai diikuti oleh bayangan dari seekor harimau, begitu aku berkesimpulan.

Hanya kepadaku saja Bibi bercerita tentang harimau yang disebutnya raja itu. Terkadang aku iba, ketika cerita harimau ini sampai mencekam tubuh tuanya yang menjadi dingin seperti es, tergambar rasa ngeri di wajah Bibi ketika beliau bercerita lebih masuk lagi ke dalam.

Seakan Bibi mengalami sendiri masuk ke dalam hutan yang dihuni harimau yang dikisahkannya. Jika sudah begini, aku berusaha menghentikan cerita yang mulai menakutkannnya. Aku akan membelai tengkuk Bibi dengan lembut supaya napasnya kembali lancar dan dia mendapatkan udara yang semestinya.

Memang, semenjak Paman pergi ke alam baka, Bibi jadi tinggal sendiri, anak-anaknya yang sudah berkeluarga dan tinggal jauh, hampir tak pernah menjenguknya,  hanya akulah keponakannya yang tersisa menemaninya.  

Sekarang harimau itu kerap muncul di layar, Karina!

Kini semakin sering  Bibi bertutur kepadaku soal harimau itu, terlebih sejak kepergian suaminya, Pamanku.  Kata Bibi, harimau itu sering muncul di tembok-tembok  rumah, tapi aku tak hendak menanggapinya serius, karena harimau itu si raja rimba dan harusnya tinggal di hutan. 

Aku memakluminya, Bibi sebagai orang tua yang mundur orientasinya karena faktor usia dengan penghormatan ku yang tulus tanpa prejudis.  

Aku sendiri tak pernah disambangi oleh harimau seperti yang diceritakan Bibi, baik di hutan yang tak jauh dari rumah kami, di halaman atau  bahkan di dinding rumah sekalipun.
Sampai suatu malam yang sunyi, Bibi berteriak memanggilku dari ruang tivi.

Kariiinn..! Beliau menunjuk-nunjuk ke dinding yang katanya harimau itu sedang mondar-mandir di dinding di hadapannya. Saya yang ikut mengawasi, tidak melihat sama sekali harimau yang dimaksud Bibi, di dinding hanya terpampang  lukisan besar mendiang Paman yang gagah perkasa  berkumis baplang dan bermata nyalang.  Sementara Bibi terlihat menunjuk kearah lukisan besar Paman. Aku mengambil lengan Bibi dan memeluk wanita silam itu.

Tiada harimau, Bibi..! tuturku menenangkan wajah tegangnya.  Matanya masih menatap dinding di hadapannya sembari bibir tuanya membisikkan kata harimau beberapa kali.

Bibi sebaiknya tidur, ya..! Aku membawanya perlahan masuk ke kamar tidur dan menungguinya hingga tubuhnya terlelap.
Tak lama setelah beliau masuk ke alam mimpi, aku meninggalkannya ke ruang tivi, sekedar mengamati segala pernik yang tergeletak untuk membereskannya.

Ku lihat sesuatu yang sudah lama tak pernah ku temui, yaitu seperangkat sulaman renda Bibi terlihat terkulai di atas sofa. Aku meraih dan memperhatikan gerangan apa yang direnda Bibi, namun masih baru dan belum terlihat apa motifnya.
Dalam hati aku  sorak-sorak bergembira bahwa Bibi telah memulai hobinya yang telah lama tidak dikerjakannya, yaitu merenda atau 'breien'. 

Aku masih mengingatnyajelas, bahwa Bibi memiliki keahlian yang mumpuni dalam merenda wol dengan tangannya yang terampil dan cekatan. Dan aku bersyukur  bahwa Bibi telah kembali ke jalan yang benar, maksudku Bibi telah kembali memilih kesibukan yang positif ketimbang melamunkan Paman yang telah tiada, seperti yang kerap dilakukan selama ini.

Kemudian dengan hati-hati aku simpan lembar renda wol yang baru sedikit itu ke dalam laci dengan harapan pekerjaan merenda Bibi akan berlanjut esok .

***

Kariinn..!! Apakah kau simpan renda Bibi? Di pagi yang masih muda, ku dengar Bibi memanggil. Aku tergopoh menghampiri dan mengeluarkan 'breien' Bibi dari laci lemari serta memberikannya.  Kulihat mata tua itu berbinar-binar yang  serta merta kedua tangannya berkelibat gesit memainkan tangkai-tangkai renda. 

Tak lama kulihat Bibi sudah asyik masyuk dengan benang-benang wolnya yang didominasi warna kuning dan hitam. Aku sendiri tak berkehendak mengintervensinya, karena berharap dengan kesibukan ini, Bibi akan melupakan bayangan harimau yang saban hari menakutinya. Dan memang biasanya Bibi hampir lupa waktu jika sudah menganyam wol yang bersulur-sulur mengitari tangan lincahnya.

Sampai hari menurunkan senja  kulihat Bibi masih berkibar di antara wolnya, sehingga muncul sebersit resahku karena Bibi telah memforsir kekuatannya.  

Kudekati Bibi dan ternyata firastku benar, Bibi terlihat penat, jari-jarinya terlihat melambat seakan kesulitan menarik benang dengan kait rendanya.  Aku mendinginkannya dan merayu untuk beristirahat. Namun beliau menggeleng, sembari bersikeras melanjutkan jemarinya yang bergerak kepayahan. 

Kulihat cincin kawin Paman yang melingkar di jari manis Bibi, terlihat mengganggu gerakannya yang sebentar-sebentar tersangkut benang wol.

Betul! Cincin besar ini begitu menggangguku! Bibi menggerutu, terlihat wajahnya seperti marah.

Lepaskan saja dulu cincin kawin Paman, Bibi..! Aku menawarkan solusi, tapi Bibi menggeleng keras. Selikas tampak ada rasa takut di wajahnya andai sekiranya harus melepas cincin itu.

Aku tidak berani mencopotnya...! Bibi mendesis sambil memandang cincin yang duduk berat di jari tangannya. Lalu Bibi tetap melanjutkan 'breien' dengan jari yang terlihat berat . Katanya dia harus menyelesaikan anyaman renda itu sebelum waktunya habis.

Aku tak mengerti maksud bibi waktu itu, yang ku tau Bibi begitu fatik dilanda kelelahan hebat setelah merampungkan renda wolnya. Dan aku benar-benar menyesalinya, bahwa Bibi pergi begitu singkat, setelah menyelesaikan 'breien'nya. Bibi meninggal sehari setelah pekerjaannya selesai.

Dan menjelang pemakaman, terakhir kali ku pandangi sosok Bibi yang terlihat jemarinya masih dilingkari oleh cobaan berat meskipun dikuasainya.

***

Selepas hari ketiga kematian Bibi, dalam kedukaan, aku mendapati gulungan lembaran renda wol yang telah selesai dikerjakan Bibi. Perlahan kuraih dan dengan hati-hati kubuka gulungan panel renda tebal itu, dan seketika aku tertegun menatapnya. aku melihat motif renda yang tampak mencolok, aku mengamati bahwa anyaman renda itu berupa gambar seekor harimau besar, berwarna loreng, kuning berkontras  dengan garis-garis hitam yang tampak seperti hidup. Aku pikir saat itu aku tak bisa berkata-kata.

Dan saat itu pula, aku sempat melihat seekor harimau persis seperti motif renda Bibi, harimau itu melintas dan menghilang ke balik lukisan besar Paman di dinding ruang keluarga.  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun