Aku yang telah tiba dipersimpangan duduk menanti untuk memilih jalan ke kiri atau kanan. Hanya ada satu pilihan yang menentukan. Dan sebagian orang-orang sudah memilih jurusan sesuai takdirnya, aku cukup menunggu. Karena meski hatiku rusak oleh Matahari yang cantik, aku tak tega membiarkannya jatuh ke dalam syair indah yang seharusnya selesai disini.
Dan ketika akhirnya mereka berdua tiba di dekatku di persimpangan ini, kulihat mereka masih saja beradu lutut saling berkasih-kasihan. Mereka melangkahkan kaki berpadu sekehendak cinta mereka tanpa mata dan kepala, namun dengan perasaan. Yang tentu saja berbahaya untuk memilih arah jalan yang harus dipilih di persimpangan ini.Â
Aku sendir berlari ke seberang menjauhi  salah satu pilihan jalan bercabang itu, sedang mereka terlihat tanpa sadar memilih cabang jalan yang berbeda denganku.
Matahariiii..! Aku menjerit keras memanggilnya setelah aku diberitahu bahwa di seberang jalan bercabang yang dipilih itu bukanlah nirwana. Aku menangis dan sungguh-sungguh minta maaf karena aku hanya tahu sepersekian ribu detik di persimpangan aku baru diberitahu bahwa jalan bercabang dua itu salah satunya adalah lawan surga.
Tapi segala sudah terlihat terlambat. Aku merasakan angin bertiup dingin, yang terakhir kulihat keluar dari bibir dan dada mereka. Melihat kejutan yang menyakitkan dari kekosongan kedua mata mereka, Penyair dan Matahari.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H