Pagi saat matahari sibuk bersolek, saya sudah melangkah menuju kebun, menggenggam erat kotak embun silam kamu. Entah saya merasakan seperti demikian memerlukannya untuk menemani. Dan ketika kaki saya menginjak batas rumput kebun, ternyata yang dikatakan tetangga benar adanya. Kebun tampak kering dan rapuh, tak terlihat warna kecuali pucat dan grey, berbeda saat kamu masih ada, kebun berwarna hijau dan beraroma daun. Â
Saya melangkah perlahan mengelilinginya, tiada hijau daun dan kayu coklat yang berseri, segala mengering dan kebun terlihat begitu tua. Seketika saya merasa lelah walaupun pagi tampak belum lagi berjalan penuh. Saya mengambil kursi taman  dan duduk melepas segala renung akan dua kepergian, kamu dan kebun ini.Â
Mengenang bahwa, kamu pergi begitu muda dari kebun yang masih belia, seakan membuka kisah terputus, yang memerintahkan saya mengeluarkan kotak embun kamu di saku.  Saya menggenggamnya erat. Serta merta saya membuka nya, ada rasa sejuk  merayap keluar, lalu terlihat embun muncul perlahan, berjalan mengambang, yang semakin lama memenuhi taman. Â
Kemudian butiran embun mulai terlihat melapisi  dedaunan, rumput dan tunas. Saya merasakan kembali sejuk yang pernah pergi, tentang cerita embun yang kembali  pulang.  Saat itu juga  ingin rasanya saya berbaring, sebelum datang cahaya yang akan mengambil embun dengan rakusnya. Lalu saya melakukannya, merebahkan diri saya hingga jantung saya tenggelam lebih rendah dari tanah.
Dan saya merasa ada sesuatu yang harus diserahkan kepada Tuhan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H