Kami menjalani jalan kecil yang luput di dalam ingatan, sebuah jalan menyendiri yang berkelok menyenangkan, melewati beberapa bunga liar mekar sekehendak hati hampir di setiap depa.Â
Jalan mungil itu seperti memagari kami dengan hijau ivy yang menyelimuti di kanan-kiri. Cukup lama jalan menurun hingga di ujung berjumpa rumput datar menghampar. Lalu kami duduk berpunggung  memindai langit yang terlihat seperti perlu direnovasi.
Apakah kau masih mencintaiku? Aku membuka kata tanpa menolehnya.
Mmmm.. tentu saja! Sahutnya dengan arah pandang berlawanan.
Hei! Apa maksudmu dengan mmm...?
Bagaimana kau sendiri? Apakah kau masih mencintaiku?
Mmmm iya... tentu saja!
Hei! Kau menggunakan mmm iya...?
Aku tersimpul mendengar sahutannya yang ku yakin wajahnya tersenyum serupa. Â Sesungguhnya itu adalah sedih yang menjadi lucu untuk mencoba menghapus luka.
Eh! Apakah kau terluka? Dia bertanya
Aku? Tidak!
Kau?
Tidak!
Aku tidak tersenyum dan ku yakin parasnya yang membelakangiku pun tidak. Kerna sepertinya kita sedang berpura-pura, mewarnai kebohongan dengan warna yang paling manis. Barangkali saja dia sedang menimbang tentang neraca cinta dan masa depan. Maksudku, masa depan status quo pacaran kami.
Lalu kami terdiam, memaknai segala warna sederhana di alam, dimana hijau adalah rumput dan biru adalah langit, sedang violet adalah awan. Pink nya itulah mawar, putihnya adalah angsa, dan kuning hanyalah sebuah pir.
Dia pun mengeluarkan dari saku depan cover-all nya, sebentuk bulat berwarna oranye dan dia membalikkan tubuhnya menghadap wajahku.
Oranye tetaplah orange! Katanya sambil memegang buah beraroma renyah itu mendekatkan ke hidungku.
Lalu tangan lentiknya mengupas yang serta merta fragrans pecah semerbak di seluruh penciuman kami.
Mau? Dia menjentikan jari jeruknya dan aku menyambutnya. Lalu mengulumnya.
Manis!
Dia mengangguk sambil mengunyah cantik.
Mengingatkan hal pertama yang kita kerjakan sehabis pandangan pertama silam, yang menjatuhkan hati kami masing-masing. Barangkali teramat muda, tapi enggak jugalah. Atau barangkali cinta lain yang terhampar di jalan terlalu banyak, tersembunyi dan terlihat berbeda sampai menggoda.
Aku menerawang tentang Sofia, perempuan terakhir dalam urutan ketiga yang mampir di cintaku. Menggoda di tengah perjalanan asmaraku dengan dia, perempuan dihadapanku ini. Ku pikir seperti musim yang berganti ketika Sofia menjadi pudar.
Sama halnya dengan pertama dan kedua wanita setelah perempuan ini, yang seperti teman lama yang baru membuka cinta yang semusim pun reda. Tiga kali, seingatku, aku telah mendua hati perempuan jeruk di  depan wajahku ini.
Kamu melamun? Tiba-tiba dia bertanya memotong kenangan cinta-cinta  tersembunyi semusimku.
Mmm.. Kamu?
Dia tersenyum memberikan kembali potongan orange kedua untuk kedua bibirku, aku menatap putih pesona wajahnya. Dia nampak tak acuh menggerakkan mulutnya mengunyah jeruk semanis yang pernah terlihat.
Membikinku berpindah melawan kenanganku yang berseberangan dengannya. Iya, aku sangat ingat si Joni, pemuda yang menyerahkan bahu kekarnya sebagai bantal rambut bleach perempuan ini. Tentu saja ada cemburu meski saat itu aku juga bergandeng tangan dengan Sofia. Tapi Joni bukan yang pertama bukan? Ketiga kah? Ah! Pasti dia, perempuan ini, mendua lelaki sampai tiga kali. Lalu aku?
Kau sedang apa? Aku bertanya tiba-tiba untuk memotong dari lawan kenanganku yang kupikir norak.
Membungkus!
Mata indahnya menatapku. Tangan langsingnya membungkus pecahan kulit orange kedalam kantung kertas.
Membungkus?
Iya! Aku membungkus kenangan! Jawabnya pelan.
Lalu aku lebih merapat dan mengambil tangannya ke tanganku dan membiarkan senja yang masih muda turun tak kentara. Ku pikir adalah baik untuk mencintai lagi. Menelusuri hati yang menetes dan tertusuk dan syair-syair sedih yang sudah lewat dan terpeleset. Ku kira sedikit lebih baik meskipun juga sedikit lebih buruk.
Cinta yang berimbang itu tidak juga lebih baik! Ucapku tepat di tirus wajahnya. Dia menatapku lurus dan mengangguk setuju bersama gerai rambut bleach indahnya.
Salah satu dari kita harus lebih mencintai! Kataku
Ya. Salah satu dari kita akan mencintai lebih sedikit! Sahutnya lembut.
Lalu kami pun berciuman. Dengan awan sore di atas kami, awan yang seperti menceritakan pengalaman bahwa cinta yang setara itu tidak memberikan kelebihan atau menerima kekurangan, sehingga membosankan karena salah satu tak mempertahankan.
Apakah ini yang terakhir? Perempuanku cantik itu bertanya.
Satu tahun lagi! Jawabku, dia memelukku erat dan membisik lekat di telingaku.
Ya. Satu tahun lagi!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H