Mohon tunggu...
Band
Band Mohon Tunggu... Supir - Let There Be Love

(PPTBG) Pensiunan Penyanyi The Bee Gees

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Surat

18 Juni 2021   17:03 Diperbarui: 18 Juni 2021   17:17 151
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Surat itu datang dengan hati berdebar, di pagi yang belum benar-benar pagi, melalui pintu kayu yang terlalu lama sendiri. Aku yang sedang membaca pagi melalui rongga jendela mendengar ketukan ragu di kayunya. Kuurungkan cerita lengkap matahari di panggung pertunjukkannya, melangkah menuju pintu yang baru kali ini kuhampiri.

Sepucuk surat Nyonya!

Petugas berpet di kepalanya yang sempit itu menyodorkan satu amplop berwarna coklat. Wajahnya yang tirus yang kelihatan terbiasa serius. Dan aku menyambutnya di tanganku dengan bibir beku, tak hendak memandang sang loper berbaju warna kaki. Tampak di kabur pandanganku dia memberi tanda hormat dengan lengannya yang sigap.

Sudah dilaksanakan Nyonya! Serunya mengakhiri.

Bisakah surat ini tidak datang? Aku memotongnya dengan kata yang limbung.

Maksud Nyonya?

Aku tak mengharapkannya.. Jawabku hampir tak bersuara

Mohon ijin Nyonya. Surat ini telah datang!

Aku.. aku tak hendak surat ini kembali lagi.. Sambung ku.

Mohon maaf Nyonya. Surat ini bertujuan! Terima kasih!

Poter itu menekan suaranya dilanjutkan dengan langkah membalik badannya untuk menghilang bersama deru mesin sepeda motornya meninggalkan diriku sendiri bersama surat digenggam.

***

Surat ini adalah surat yang sama yang pernah kuterima semusim yang lalu. Surat yang pernah datang dengan pembukaan yang formal sampai akhirnya mengatakan bahwa aku masih bisa memilikinya. Sedang bagian tengah surat adalah kesakitan yang tersembunyi yang merupakan tanda tanya perihal kembali atau kepergian. 

Apakah itu pilihan ataukah dia hidup, itu bukan jawaban bahwa dia ada di sana dan mereka selalu berjanji akan mengembalikan hidup-hidup. Aku memangku lembar surat yang masih tertutup itu, melanjutkan matahari di jendela sebagai kebiasaan melaksanakan perjalanan bahwa apapun yang terjadi, alam akan baik-baik saja.

Bagaimana lagi?

Menimang surat di pangkuan, membuatku terlempar kembali semusim ulang. Akan ketidakpastian apakah mereka mengembalikannya hidup-hidup? Mereka tidak diketahui mengirim orang mati. Surat pertama yang pernah kubuka tidak menceritakan kasat mata, apakah ada cacat di matanya, atau di tangannya, wajahnya? Ah! Kupikir aku harus melihatnya, tidak dari membaca dan menduganya sampai demikian jauh menggantung musim.

Apa itu sayang?

Pertanyaan hati yang menggumam di rongga mulutku menjadi siksaan kerinduan untuk melihat dan bertanya kepadanya yang telah memberikan segalanya. Hingga akhirnya tibalah surat kedua ini. Yang mengisyaratkan selama semusim ini dia masih ada, meski masih menyembunyikan keyakinan bahwa penyakit sudah terlewati untuk waktunya pergi lagi.

Surat rona coklat itu memburam di bayang matahari yang mencuri dari kisi jendela, membuat kertas sampulnya hangat. Aku meletakkannya di ranjang hanya untuk meredakan rasa harapan yang memalsukan. Tentu saja surat-surat di musim sekarang bukanlah harapan, karena keruhnya masa informasi. 

Ada keraguan untuk merobek sampulnya karena ketakutan akan ketidakpastian, apakah aku termasuk yang beruntung? Bisa mempercayakannya bahwa dia dalam keadaan senang dan baik-baik saja. Namun surat pertama semusim lalu menarik ku kembali ke sudut sama, yang tak memperbolehkan kemudahan.  

Kembali kumenatap pagi yang sudah hilang.

Ada apa sayang?

Semestinya kutanyakan kembali  di kedua suratnya. Untuk menghapus spekulasi menjalani semusim berikutnya.

Apakah aku harus menyerah?

Dan mengatakan cukup! Ah! Namun tidak cukup sampai di situ. Harus ada peluru yang melalui setinggi dada sehingga terlihat bekasnya. Dan tidak ada apa-apa selain perawatan yang baik, obat-obatan dan istirahat. Barangkali satu minggu memadai lalu menyembuhkan untuk dia pergi lagi.

Suram memasuki jendela ketika mendung mendekati matahari hingga lapisannya menyampaikan bahwa cahaya tidak datang untuk sementara tanpa kepastian. Dan aku tak sampai hati untuk merobek sampul surat yang telah menjadi dingin, bahkan untuk bertanya lagi, bagaimana dengan dia untuk percobaan keduanya. 

Membuat kedua bola mataku perih dan basah untuk meletakkan saja surat tertutup ini di atas meja persis berhadapan dengan pintu kayu masuk.
Aku pun bersiap akan menjalani lagi semusim ke depan, menunggu dan mempersiapkan apakah mereka akan mengembalikannya kepadaku, tetapi tidak untuk disimpan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun