Surat itu datang dengan hati berdebar, di pagi yang belum benar-benar pagi, melalui pintu kayu yang terlalu lama sendiri. Aku yang sedang membaca pagi melalui rongga jendela mendengar ketukan ragu di kayunya. Kuurungkan cerita lengkap matahari di panggung pertunjukkannya, melangkah menuju pintu yang baru kali ini kuhampiri.
Sepucuk surat Nyonya!
Petugas berpet di kepalanya yang sempit itu menyodorkan satu amplop berwarna coklat. Wajahnya yang tirus yang kelihatan terbiasa serius. Dan aku menyambutnya di tanganku dengan bibir beku, tak hendak memandang sang loper berbaju warna kaki. Tampak di kabur pandanganku dia memberi tanda hormat dengan lengannya yang sigap.
Sudah dilaksanakan Nyonya! Serunya mengakhiri.
Bisakah surat ini tidak datang? Aku memotongnya dengan kata yang limbung.
Maksud Nyonya?
Aku tak mengharapkannya.. Jawabku hampir tak bersuara
Mohon ijin Nyonya. Surat ini telah datang!
Aku.. aku tak hendak surat ini kembali lagi.. Sambung ku.
Mohon maaf Nyonya. Surat ini bertujuan! Terima kasih!
Poter itu menekan suaranya dilanjutkan dengan langkah membalik badannya untuk menghilang bersama deru mesin sepeda motornya meninggalkan diriku sendiri bersama surat digenggam.