Debi menguak daun-daun hijau penghalang  wajahnya, dari  balik punggungnya orang-orang berkumpul mengelilingi suatu pentas kecil duduk menikmati pembacaan sastra. Debi yang kerap melewati jalan itu berhenti memaku, mata indahnya mengerling ke arah banner  bertuliskan "apresiasi sastra" yang terpajang di salah sisinya.
Matanya lalu berpindah kepada sosok lelaki berdiri di tengah pentas yang sedang membaca puisi. Suaranya terdengar lembut mengalun, lengannya bergerak seperti penari mengikuti alur rima kata dari kertas yang dipegangnya. Atmosfer yang tadinya riuh mendadak hening seperti menyihir semua orang tanpa terkecuali Debi. Suara susasteranya terngiang menyapa lewat mik merambat menjadi gelombang pesona.Â
Debi terpaku menatap ke panggung dan sekeliling, dia merasakan keindahan yang sederhana hingga tanpa sadar menuntaskan keindahan mantra penghipnotis sri panggung sampai akhir. Debi pun terhenyak saat para penikmat bertepuk memberi aplaus. Tanpa sadar Debi mengikuti, matanya tak lepas dari pembaca kurus di panggung yang sedang membungkuk dalam, memberi hormat kepada penonton.
"Keren ya?" Seseorang menepuk bahunya. Debi tersentak kembali ke bumi.
"Heh? Iya juga sih! Kamu La?
"Buruan, ntar telat!
"Ah, yuk!"
Kedua perempuan itu setengah berlari ke arah yang menjadi tujuannya yang masih berjarak puluhan depa, hingg akhirnya menghilang masuk ke dalam koridor ruang-ruang kuliah yang didepannya bertulis Jurusan Teknik Kimia.
Dua jam penuh Debi mengikuti kuliah dengan serius, sementara Kevin, pacarnya, sudah lebih dulu menanti di selasar.
"Hai! Dah lama?"
"Lumayan"
"Gak jadi kuliahnya?
"Profnya lagi surgery" Kevin menggeleng.
"Yuk!"
Mereka berdampingan menuju lahan parkiran, Kevin melepas sepeda motor lalu mereka melaju ke luar kampus. Hari yang cerah, kedua sejoli itu berboncengan lepas ke jalan kota pelajar.
***
Hari berikut Debi kembali berkuliah, dia berpisah dengan Kevin karena Kevin mengambil ruang lain di jurusan kedokteran. Meski ruang kuliah berbeda dengan kemarin, Debi sengaja mengambil arah jalan serupa dengan kemarin. Dia masih penasaran dengan orang-orang sastra, terlebih sang pembaca panggung sastra.Â
Tapi perhelatan sudah sepi, hanya terliat beberapa mahasiswa berbenah panggung. Â Debi melambatkan langkah dan memperhatikan anak sastra pembaca puisi kemarin. Pakaiannyamasih sama, kemeja hijau kasar berjins, rambutnya gelombang sebahu kurang terpangkas rapi namun terlihat elok. Â Dia duduk di papan panggung kelihatan asyik membaca sesuatu, padahal matahari mulai memanasi.
"Hai! Sudah selesai?" Debi memberanikan diri mendekatinya.
"Ah! Maksudmu pementasan ini? Iya, hanya sehari kemarin" anak muda itu menatap Debi dari silanya, Debi mulai menerka bahwa anak itu cuek, terlihat bahwa dia kembali membungkuk terpaku pada yang dibacanya.
"Kamu pembaca puisi yang kemarin, kan?"
"Salah satunya. Mengapa?" Pemuda itu mendongak.
"Jujur, itu keren menurutku"
"Biasa saja. Kamu dari sastra?"
"Saya? Bukan"
"Ah! Saya sudah menduga"
Idih, brengsek amat ini cowok? Debi menggerutu dalam kalbu. Sok sastra banget!
"Ok! Thanks" Debi menukas. Wajahnya gemas dan ingin segera berlalu.
"Hei! Biarkan saya memberikan buku ini!" Lelaki itu berlari mengejarnya. Debi berhenti.
"Buku apa?"
"Ini kumpulan tulisanku. Jika kamu berkenan" Lelaki itu menyodorkan lembaran yang lebih mirip booklet. Debi menggapainya.
"Terima kasih!" Ucapnya sambil memperhatikan buku tipis ditangannya.
"Saya Rubin" pemuda itu memperkenalkan dirinya.
"Debi" Debi menyambut jabat tangannya.
"Jurusan mana?"
"TK"
Pria itu terlihat senyum. Debi berpikir anak ini keren juga. Dan Rubin berpikir perempuan di hadapannya cantik. Lalu mereka berpencar.
***
"Buku apa?" Kevin kepo melihat pacarnya membaca booklet.
"Sastra"
"Heh? Sejak kapan nona Debi suka puisi?"
"Bukan itu saja, ini berisi prosa juga kok" Debi membuka cepat halaman.
"Mmm.." Kevin tak hirau.
Kedua sejoli berpasangan itu kembali berjalan setelah menghabiskan jam kuliah mereka. Tapi Kevin ada kuliah rumah sakit.
"Aku ke rumah sakit, biar kamu ku antar dulu pulang" Kevin menjelaskan.
"Ntar aja Kev. Kamu pergi aja, aku nanti pulang sendiri"
"Oke kalo begitu. Ati-ati" Lalu Kevin menggapai sepeda motornya dan meninggalkan Debi yang memandanginya menjauh.Â
Kevin yang baik dan cinta kepadanya semenjak pertama mereka berdua menginjak kaki di perguruan ini bersamaan. Mereka  berdua jatuh cinta pada pandangan pertama, dan merasa nyaman sampai sekarang.
Debi melangkahkan kaki menuju area perpustakaan yang berpohon rindang, mengambil tempat untuk duduk di kursi di bawah pepohonan yang sejuk tertiup sepoi angin. Dia membaca buku yang diberikan Rubin sang sastrawan, beberapa puisi hingga sampai pada satu cerita pendek yang menarik hatinya. Cerpen itu membuatnya terpukau seakan dia berada di dalamnya.
***
Dua bulan berlalu cepat, layaknya semester kuliah yang mesti dijalani. Dan selama itu pula Debi mengambil arah jalan yang melewati bangunan sastra, apapun tujuan ruang kuliahnya. Dan dia tak hendak melepasnya sehari pun. Debi merasa semakin terperangkap sastra di dalam jurusan teknik yang diambilnya.Â
Rubin sang sastrawan kerap menemaninya untuk sekedar berbicara susastera, yang mulai digandrungi Debi. Dan dengan bertambahnya waktu, mereka saling memberi perhatian sehingga akhirnya udara merekapun menciptakan cinta. Debi dan Rubin mulai terikat satu sama lain.
"Kupikir, sebaiknya kita bicara kepada Kevin" Ucap Rubin pada suatu kesempatan di bawah pohon rindang. Debi yang bersender di bahunya hanya terdiam, sepertinya dia sedang terhanyut ke dalam buku silam yang diberikan Rubin pertama dulu, dan selalu berulang dibacanya.
"Deb!"
"Mmm.., aku sudah memberikan satu kopinya buat Kevin. Dia sangat menyukainya" Sahut Debi.
"Maksudmu?"
"Ini, buku sastra kamu.."Kata Debi mengangkat buku yang sudah agak kumal itu.
Rubin sang sastrawan terdiam menatap kekasihnya Debi, yang juga sudah menjadi kekasih Kevin anak kedokteran itu.
"Kupikir begitu, sayang. Besok saja kita bicarakan dengan Kevin" Kata Debi bangkit menggamit lengan Rubin manja dan mengajaknya pulang.
***
Hari yang kurang begitu cerah di kantin kampus yang sudah lewat jam makan siang, tak terlihat mahasiswa lain disana kecuali mereka bertiga, Debi, Kevin dan Rubin. Terlihat pembicaraan yang serius yang nampak dari ketiga paras muda ini.
"Sebenarnya kami berpacaran Kevin, Maaf. Aku dan Rubin. Namun aku berharap, kamu akan tetap menjadi pacarku juga, Kevin" akhirnya Debi berbicara sampai inti masalah. Kevin menarik nafas dalam, lalu ketiga insan itu terpaku dalam jeda sunyi. Sampai akhirnya Kevin memegang tangan Debi lembut sembari mengangguk perlahan.
"Tak mengapa Deb. Aku akan tetap menjadi kekasihmu. Dan aku sudah membaca ceritanya berkali-kali.." Kevin berujar lembut.
Dari saku jaketnya Kevin mengeluarkan kopi buku sastra  tulisan Rubin yang pernah diberikan Debi, bersampul depan dari cerita prosanya yang berjudul "Dua Pacar".
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H