Mohon tunggu...
Band
Band Mohon Tunggu... Supir - Let There Be Love

(PPTBG) Pensiunan Penyanyi The Bee Gees

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Final UCL: Tuchel Kembali ke Anti-football?

30 Mei 2021   12:05 Diperbarui: 30 Mei 2021   12:06 427
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ANTARA FOTO/REUTERS/Toby Melville/aww/cfo. Sumber: tirto.id

Kekhawatiran saya sebelum pertandingan final liga kampiun UEFA ini ternyata menjadi kenyataan, bahwa pertandingan bisa seburuk pertandingan satu minggu sebelumnya ketika Villareal berhadapan dengan Manchester United dalam final Eropa. 

Pertandingan dini tadi menjadi jelek dan membosankan, ketika pertandingan hanya terjadi di separuh lapangan. ManCity terus dengan pola menyerang, seperti telah kehabisan psikologi serang sepanjang yang pernah mereka perbuat dalam menghadapi pertahanan total Chelsea kali ini.

Kadang memang dalam final yang bertekanan tinggi, pelatih rela mengorbankan  "pertunjukan" sepakbola untuk melakukan apa saja demi ambisi sebuah kemenangan. 

Chelsea yang saya kenal lugas dan berani yang tergambar dari sistem 3-4-3 nya, adalah gambaran sepakbola modern dengan 'double wing back', permainan tengah di tiga perempat lapangan dan transformasi serangan dengan minimal tiga penyerang di depan. Namun dalam final begengsi dini tadi, sepakbola "post-mo" yang merupakan pakem para manajer berkelas dunia, menjadi sirna. 

Sedikit mengerikan ketika seorang Tuchel memakai taktik parkir bus, bahkan dihampir seluruh pertandingan yang jenuh, bahkan terlihat kelahiran kembali "anti-football" dimana hampir semua pemain Chelsea memosisikan pertahanan grendel atau "door-bolt" yang di Italia dilahirkan sebagai rantai  "catenaccio".  

Beberapa pelatih berkelas seperti Jose Mourinho pernah mengeluhkan betapa sulitnya memenangkan pertandingan melawan tim yang bermain melulu bertahan untuk menang. 

Dan keniscayaan ini banyak terjadi dalam pertandingan yang penuh dengan teknik tinggi di final bergengsi yang selanjutnya hanya berakhir anti-klimaks, menjadi pertandingan yang malas dan tidak berkelas. 

Kasihan penonton di stadion yang sudah bayar mahal termasuk travel-fee, juga penonton di belahan bumi katulistiwa yang mesti begadang berharap pertunjukan puncak kenyataannya ecek-ecek. Masih untung sendal enggak melayang ke layar tivi, ya kalo tivi sendiri nggak apa-apa, kalo tivi pak lurah?

Dari awal memang sudah terlihat ketika Guardiola memasang Sterling sebagai peregang dan penerobos pertahanan kiri Chelsea yang mungkin akan rapat. 

Demikian halnya saat bek serang, Ben Chilwell menjadi bek konservatif sementara pemain serang menawan Pulisic sengaja lambat diturunkan, demikian halnya pemain stylish Hakim Ziyech sama sekali disimpan. Fix, bahwa Chelsea total bertahan dengan serangan balik operan panjang atau lambung, yang banyak bisa disaksikan dalam laga lokal, seperti dilakukan Persib atau Persija. 

Seandainya saja pemain modern Pulisic dan Ziyech dipasang di sebagian besar masa laga, maka pertandingan bisa menjadi menarik berisi jual beli serang dan adu taktik. Atau jika saja hakim Antonio Lahoz mengabulkan handball Reece James.

Maka bisa jadi pertandingan akan  lebih menarik, ataupun sang kapten ManCity, Kevin De Bruyne bisa bangkit lagi dari tandukan kepala "the big" Rudiger di menit panjang ke-59.

Begitulah, pada akhirnya memang kemenangan adalah tetap kemenangan, cuma  kemenangan "anti foot-ball' adalah kemenangan yang menyedihkan ketika sepak bola modern yang menggairahkan, yang telah berjalan di depan harus 'turn-back' lalu menjadi kuno.

Dan yang lebih menyedihkan adalah menyaksikan coach Tuchel begitu bersemangat mengajak "The Blues Fans" memberikan tepukan gemuruh kepada kehebatan door-lock anti-football tim nya.

Chelsea adalah kampiun, dan Tuchel menang, ManCity finalis yang kalah, dan Guardiola pun kalah bersama kekalahan dari kualitas UCL itu sendiri.

Namun lepas dari kekalahan dalam final UCL ini, City dan Pep tetap konsisten dengan sepakbola "post-mo" yang tetap menjadi "bench-mark" harga diri dan "pride" untuk menjaga marwah sepakbola modern yang menggairahkan sebagai suatu tontonan bukan melulu kemenangan buta.

Dari review tanding ini, Chelsea memang bertahan seperti iblis untuk memadamkan Manchester City. Formasi Pep dalam "start eleven" adalah skenario rumit tanpa playmaker Rodri ataupun Fernandinho yang mengisyaratkan bahwa line-up yang sarat dengan gelandang serang dan pemain sayap. 

Dimana gelandang berdampingan sedekat dengan penyerang, seperti Phil Foden-Kevin De Bruyne dan Bernardo Silva-Ilkay Gudongan,  yang notabene untuk menguatkan daya gedor lini tengah. 

Masih di bantu pula oleh Oleksandr Zinchenko bek sayap kiri yang rajin, yang banyak beropersi ke tengah. Sementara Mahrez dan Raheem Sterling memaku "flank" kanan dan kiri untuk menjaga peregangan sayap depan.  

Base line pertahanan yang tinggi, rupanya masih menjadi kegalauan Pep dalam menghadapi sebuah serangan balik sosok sekelas Kai Havertz yang cepat dan halus menyelinap diantara biru langit. 

Saat Josep rumit dengan parkir bus Tuchel, gol mudah terjadi dari langkah yang sederhana yang dimulai dari ujung ke ujung dengan ringkas. Bola dari kiper Chelsea Edouard Mendy-Chilwell-Mount-Havertz, terlambat disongsong Diaz sementara kiper Ederson, tanpa hasil maju jauh memperkecil sudut Havertz.

Itu saja yang menarik dari Chelsea, selebihnya pertahanan yang putus asa dan penyerangan City yang putus asa. Terakhir adalah rasa sakit Guardiola City dan penderitaan dari harapan tinggi kepada final Liga Champions UEFA itu sendiri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun