Leon menepikan sepeda motornya. Perempuan di bilik halte terlihat cemas menanti  bis kota. Hari hampir larut dimakan jam yang berputar, mencuatkan syak bahwa batas komuter telah berakhir. Mendung mulai terlihat. Aroma hujan sudah terasa. Semakin menambah gelapnya langit. Hanya lampu putih jalan membuat spotlight di wajah aspal. Perempuan berambut sebahu itu berdiri seorang diri, demikian pula lelaki Leon. Berdua sosoknya jadi berkilat terbungkus cahaya merkuri.
"Ku pikir bis telah selesai. Aku akan mengantarmu, nona" Leon menawarkan.
Perempuan itu menatapnya mulai dari kaki sampai kepala. Matanya manatap cemas ke mata Leon sosok pemuda asing yang berdiri di sampingnya
"Tidak! Terima kasih" lehernya jenjang menggeleng.
"Hujan akan segera menyiram dan kau akan terperangkap disini!" lanjut Leon.
"Uh!" perempuan menggerakkan tangan menolak.
"Kau tak akan mendapatkan bis kota jam begini. Aku berpengalaman. Ayolah!" Leon mendesak.
Gadis itu kembali menemui matanya, seakan untuk menetapkan kepastian yang ragu. Leon menarik lengannya dan gadis itu menurut  menaiki jok. Lalu motor menderu untuk membelah malam yang nyaris jenuh.
"Dimana rumah nona?"
Gadis di belakang mengatakan alamat yang dirasakan Leon seperti bisikan angin di telinganya. Leon mengangguk dari balik helmetnya.
Setelah separuh jalan melaju malam, sebuah motor lain memotongnya tajam menyerong  dan berhenti di roda Leon yang berdecit. Pengemudi lawan menaikkan kaca helmet, serupa pula yang dilakukan Leon, darah mudanya mulai naik.
"Apa-apaan ini!" Leon membentak.
"Maaf kawan! Ayok!" Lelaki lawan menyeru kepada gadis di jok penumpang Leon sekan tak memedulikannya. Yang dipanggil serta merta turun menyambut  lelaki baru itu.
"Ah! Maaf. Ini teman saya. Terima kasih telah mengantar sampai disini. Ini!" Terang perempuan itu sembari  menyodorkan upah. Leon menggeleng lalu tancap gas. Rrruuummm...!
"Hei! Ini..!" Perempuan itu berteriak sampai berjinjit. Tangannya melambaikan helmet penumpangnya yang tergenggam. Tapi Leon seperti kabut, kendaraannya begitu sebat.
***
Hari paling pagi memang susah dideteksi. Dalam campuran kelam dan remang Leon bangkit dari duduknya di kafe duapuluhempat jam. Hari yang tidak bahagia masih saja tersisa buat lelaki kurus ini. Wajah yang tampan berbasuh air wastafel membikinnya segar. Mata Leon mulai melek, menatap  sisa cahaya lampu yang tak pernah berubah sejak setahun lalu.
Yak! Satu tahun lalu, sepeninggal Maya kekasihnya yang tak jelas pergi kemana. Maya pacarnya yang lenyap bak hantu. Padahal dia lagi sayang-sayangnya. Setahun kenangan seperti membaca novel dejavu. Maya dan kafe ini seperti meromantisasi kenangan yang mulai perlahan meninggalkan.Â