Saya sendiri sudah lupa kapan mulai mengenalnya, sepertinya cukup lama, mungkin semenjak saya masih kecil. Tidak begitu lekat juga, malah sering saya lupa namanya tapi wajahnya itu.Â
Maksud saya, wajahnya kadang timbul kadang tenggelam, kadang terbayang jika saya mengingatnya, jika tak hendak saya lupa garis parasnya. Setahu saya, seiring waktu wajahnya berubah-ubah. Tetapi yang tak pernah saya lupa, wajahnya itu selalu memperlihatkan wajah yang penuh keingintahuan.Â
Pernah sekali begitu lama kami tak bersua, lalu kami bertemu, ternyata saya kurang mengenalinya, seandainya saja dia tidak memberi 'clue', pasti saya 'blank'. Untung saja. Dan itu memudahkan saya untuk menggali kepala saya guna mengingat kembali sosok sahabat lama ini. Begitu juga, beberapa kali pertemuan, beberapa hari sebelumnya, Â saya kerap dihinggapi perasaan yang tiba-tiba datang, yaitu bayangan sosoknya datang nyelonong ke dalam kepala saya tanpa bisa saya kendalikan.
Lalu saya bisa berhari-hari memikirkannya, menerka-nerka seperti bentuk sosoknya dan wajah penasarannya. Begitu sebaliknya, di satu-dua kali perjumpaan, saat pertemuan terjadi, kepala saya terasa kosong, tak pernah ingat sosoknya meski saat bertemu mata, lagi-lagi dia mengenalkan namanya, dan kembali saya menemukan seorang sahabat berwajah kepo.
Dia sendiri enggak pernah tersinggung jika saya lupa namanya, dan dia dengan tegar, kembali mengingatkan namanya yang saya pikir saya pernah mendengarnya di waktu silam. Namun demikian, kami berbicara dengan akrab apabila telah berjumpa. Meskipun selalu ingin tahu urusan, saya pikir dia seorang sahabat yang supel, begitu bertemu saya merasa akrab dan kami menjadi lengket seperti saudara sendiri. Â Meski dalam hati kecil saya, tetap ada yang aneh bila berada di hadapannya, barangkali mimik parasnya yang selalu kepo itu, ya?
Sekarang kami telah beranjak dewasa, sudah bertahun pula kami tak bertemu. Saya pun tak sengaja melupakannya, mungkin karena saya telah berhubungan dengan Raisa, seorang perempuan cantik. Kami saling jatuh cinta dan kini sudah dua tahun jadian. Mungkin sahabat saya merasa tersingkir semenjak kehadiran Raisa, sehingga dia juga menghilang tiada kabar.Â
Raisa sendiri seorang penyanyi di sebuah kafe yang kerap saya singgahi. Dari semula menyukai suaranya yang merdu lalu bergeser ke batas yang  tidak saya ketahui, saya jatuh dan mencintainya. Rupanya tangan saya tidak bertepuk sebelah, Raisa sang biduan rumah kopi menyambut cinta saya. Lalu kami kerap jalan berdua, dan berbincang menyenggol masa depan.Â
Raisa cewek yang santai, dia bilang. Bro, aku tetap mau jadi biduan, katanya. Saya sama sekali tak keberatan bila Raisa ingin menapaki karir nyanyinya, malah saya katakan. I'm always supporting you, baby. Dan Raisa gembira, dia merasa saya egaliter dan bukan seorang lelaki kolot.
Namun berjalan bersama tahun, saya mulai sulit menemui Raisa. Memang setahu saya dia kerap mem-WA saya bahwa dia mulai dilirik oleh produser rekaman. Sesekali saya hanya bisa mengintip dari celah ruang latihan Raisa bersama band ketika jantung saya enggak tahan lagi.
Sori, aku sibuk Bro. begitu whatsapp-nya, ketika saya mengajaknya untuk membicarakan hubungan yang lebih serius. Saya pun mengalah, mungkin Raisa sedang berkonsentrasi penuh untuk menggapai cita-citanya menjadi seorang biduan terkenal.Â
Namun di lain sisi, hati saya was-was, jika nanti Raisa lupa kepada saya bila dia sudah ngetop. Jadi dengan pertimbangan itulah, saya yang memang lebih berat cinta kepadanya, mencoba segera mengikatnya jangan sampai lepas untuk bisa saya nikahi. Tapi naluri saya yang sering saya abaikan, berkata benar. Makin saya pepet, Raisa ternyata makin sulit saya temui, sedang di dalam hati, saya sudah begitu ngebet dan bercampur takut kehilangan waktu dan perhatian Raisa.
Akhirnya di satu sore di kafe, saya tak lagi menemui Raisa. Katanya memang sudah dua bulan dia resain. Dan sejak kejadian itu, setelah saya cari ke segala tempat yang biasa dia berada, saya tak pernah menemui kekasih hati itu.
Saya pun hancur, kehilangan yang tanpa kabar. Saya ambruk kena 'ghosting' Raisa. Tak tau lagi mencari ke mana, kerna setelah menanti berhari-hari sampai berminggu tak terdengar cerita tentangnya. Nomor kontaknya pun sudah tak pernah terjawab hanya berbunyi, cenut-cenut, ketika setiap hari saya hubungi walaupun saya sadar itu suatu kesia-siaan saja.
Akhirnya saya pasrah dan menyadari sudah pasti kehilangan Raisa yang cantik dan merdu suaranya, Raisa yang meninggalkan luka parah dan sejarah kelam cinta saya. Entah selanjutnya, berapa lama saya mengalami musim murung, makan tak enak dan tidur tak nyenyak, hingga di satu titik saya bisa tegak kembali menyimpan luka ke bagian terdalam dan sudah melupakan Raisa di permukaan kehidupan saya. Istilahnya saya sudah move on.
Setahun setelah kehilangan Raisa, tiba-tiba saya kembali bertemu dengan sahabat lama saya yang hampir terlupa. Saya sedikit kurang suka dan menunjukkan muka bete, tapi sahabat saya tidak menanggapi, wajahnya yang penuh keingintahuan masih saja dibawa serta, dan saya tak pernah lupa akan wajah kepo ini. Â Sementara saya diam saja, kali ini dia banyak sekali mengoceh tentang kisah-kisah masa lalu, kadang membuat saya jengkel, saat ceritanya menyakitkan, kadang membuat saya senang bila dongeng masa lalunya menyenangkan. Akhirnya dia berkata.
Kamu tau, Bro. Kisah terakhir yang kudapat?
Apa? Sekarang terbalik, saya yang menjadi penasaran.
Saya melihat wajah keponya muram. Ketika dengan suara perlahan dia menceritakan dengan serius tentang seorang perempuan penyanyi yang pergi dan telah melukai hati.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H