Kamu selalu mengirimi aku kabar tentang semesta sepanjang hari dan setiap hari. Sehingga aku berpikir tentang keabadian. Kabar itu terbaca lampau dan aku mengerti itu sudah terjadi, layaknya sebuah surat kabar melaporkan berita. Lalu aku terbiasa melihat bahwa keberadaanmu adalah silam tanpa kesedihan lagi. Kepulanganmu pun menjadi sebuah kabar dari keabadian.
Hingga aku berjumpa Syana, perempuan jelita yang sedang kosong dan mencari tambatan, yang membuatku begitu gugup kerna aku terbiasa dengan surat kabar yang bercerita ke belakang, sementara Syana menampilkan senyum di hari ini dan esok.
"Aku biasa menampilkan pertunjukan yang menjanjikan" kata bibir indahnya.
"Maaf, aku mesti beradaptasi.." balasku terbata
"Tak mengapa, itu hanya soal waktu"
"Okei, aku akan mencoba, menjadi seperti yang engkau minta"
Mata belok Syana berkedap-kedip, seperti menanam harapan dan keyakinan. Bahwa aku akan meninggalkan surat kabar lawas keabadian menjadi hari-hari yang baru.
"Tapi kita akan kemana, Syana?" aku bertanya meski tak surut.
"Melewati pertunjukan" dia menyahut kenes.
Aku membalas dengan senyuman tanda setuju. Meski sebagian persen otak kepalaku menyisakan tanya namun ku cuekin, kerna Syana yang cantik begitu menyilaukan.
Sebelum menjalani pertunjukan, Syana mensyaratkan kalau aku mesti merobek semua buletin lama yang pernah aku telan. Walaupun dengan berat hati aku mesti merelakan semua berkas yang sudah memadat di dalam gudang otakku untuk dimusnahkan.
"Kemana kita akan melangkah, Syana?" kembali aku menagih.
"Pertama kita ke matahari" jawabnya.
Lalu kami berdua berjalan dan menghadap tempat matahari. Setelah menunggu cukup lama guna mebiarkan awan menyingkir, kami mengamati cakrawala. Kami melihat seberkas cahaya, lalu cahaya, lagi dan lagi sampai matahari terbit.
Warna merah muda berfrase ungu yang indah mulai menyirami kota, terutama menara-menara gereja yang tinggi. Lalu hutan yang mungkin menjadi bagian paling akhir. Dimulai dari pucuk pepohonannya yang langsung menginspirasi burung-burung padi untuk memulai lagu mereka yang ceria, bahkan sebagian lagi terkekeh. Mereka juga berenang di lautan langit merah bersama daun-daun penurut yang hanyut ke dalam perairan warna.
Hingga tiba di waktu selanjutnya sekelompok tupai berlarian dan meneriakkan tentang matahari terbit seperti gosip yang meluncur ke tetangga mereka dengan dibumbui sedikit berita yang sangat menarik.
Kemudian yang cukup fantastis, mulai terlihat bukit-bukit seperti wanita yang membiarkan rambut mereka tergerai, melepaskan ikatan rambutnya.
Aku terpaku dan Syana tersenyum. Kelihatannya dia sudah terbiasa dengan pertunjukan ini.
"Apakah itu itu pesawat?" aku bertanya menunjuk ke atas, namun Syana membisu.
"Oh, tidak! Apakah itu Superman?" kembali aku berkomentar tapi Syana masih diam.
Aku masih menerka-nerka ditengah kekaguman, menatap ke langit yang penuh teka-teki. Pikiranku teringat akan filem koboi jaman baheula, 'The Lone Ranger' seorang koboi soliter bertopeng.
"Siapa pria bertopeng ini?" ku bertanya tanpa sadar menunjuk seraut wajah di atas. Lalu kami berdua mundur dan berkata.
"Wow! Itu adalah matahari!"
Lalu sang matahari naik keatas kepala kami berdua sampai dia diam dan menyorotkan kuning menyala. Ku tanyakan kepada Syana gadisku apakah pertunjukan selanjutnya.
"Mmmm... kita akan melihat segera" jawabnya dengan semangat empat lima. Beberapa jam kemudian ditengah kantuk, Syana menunjuk ke arah barat.
"Lihat sayang, genteng-genteng telah menjadi ungu!" sergahnya.Â
Aku melihat arah yang ditunjukkan lengannya. Dan benar adanya, warna ungu mulai gentayangan disemua atap. Tepat diatasnya terlihat pita-pita berwarna merah pudar mulai tertarik ke barat. Sekejap kemudian semua warna menjadi berantakan, seperti ada yang menyembunyikan.
"Dia pergi ke sisi lain" Syana ayu menerangkan kepadaku. Dia menyangka diriku bingung.
"Siapa?" tanya ku
"Matahari!" jawabnya.
Aku tidak mengangguk kerna kepalaku sedang tertarik ke barat melihat orang suci itu masuk kedalam ruang kelabu, lalu memasang dengan lembut pembatas malam dan memimpin semua kawanan pergi.
Lalu warna gelap melumuri kami berdua yang berdiri di tengah padang, sementara bukit sekeliling sudah tidak berkaki.
"Inilah satu-satunya pertunjukan yang pernah aku saksikan sebagai kabar hari ini dan esok" kata ku puas.
"Apakah ini akan menghapus kabar keabadian dari buletin lamamu?" Syana bertanya.
"Ya, Syana. Tulisan tentang kabar keabadian yang ku baca di masa lalu seperti terhapus. Tapi...."
"Tapi apa sayang?" Syana bertanya syak.
"Pertunjukan yang kau perlihatkan hari ini dan mungkin esok, Â juga akan menjadi suatu kemungkinan dari keabadian" jawabku.Â
Sementara ku lihat wajah gadis Syana memudar dan menghilang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H