Mohon tunggu...
Band
Band Mohon Tunggu... Supir - Let There Be Love

(PPTBG) Pensiunan Penyanyi The Bee Gees

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Takdir Embun

17 Maret 2021   18:12 Diperbarui: 17 Maret 2021   18:30 157
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar oleh Jerzy Grecki dari Pixabay

"Aku ingin kita pindah ke kota, Embun".

Embun tertegun, meski telah membaca titik ini akan tercapai. Wajah yang menawan itu tersaru oleh sinar pulang mentari danberubah masygul. Embun terdiam seperti daun menunggu kabar embun pagi yang tak lagi pasti.

"Kamu tentu tidak keberatan bukan?". Terasa suara sang suami menghujam kalbunya. Tanpa kemauan Embun mengangguk lemah, mengingat patriarki harus mengikuti kehormatan lelakinya, Matahari, meski batinnya menolak hebat. Kecil hatinya membayangkan bahwa kota besar tidak akan menawarkan embun pagi yang sudah menjadi tempat takdirnya yang luas. Jikalah berpindah ke kota metro, Embun akan kehilangan takdirnya. Tak ada takdir, takkan pula ada kehidupan.  Lalu Embun berhati perih.

Malamnya mereka tidur berpunggungan. Mata indah Embun mengembun,  memekat jenuh lalu  melelehkan linangan. Dia tidak merasakan air matanya hangat melainkan air mata sesejuk embun pagi di pipinya. Dalam mimpi tangis dia memanggil-manggil embun pagi untuk jangan mau dikosongkan oleh matahari.

Hari pun pagi, Matahari pergi bekerja, meletakkan kembali Embun pada hari. Dia menyongsong semua daun di taman, membelainya hampir semua basah yang ada di wajah dedaunan.

"Ini hari terakhir takdirku" bisiknya kepada mereka. Betapa sedihnya, terlihat dedaunan besimpati memperlambat perjalanan embun pagi di dalam sinar matahari, seakan enggan matahari menculiknya. Namun Embun melarangnya, kerna akan mengganggu kestabilan transportasi.
Ketika hari menjelang tinggi dan embun pagi telah jauh sirna, tinggallah menyisakan kantung mata Embun yang menawan, melamunkan kehilangan. Ada waktu seperti berkejaran di hatinya untuk mencari embun pagi, sebelum matahari memutar hari. Dia menolak ajakan Matahari pindah ke kota, Embun mau melihat takdirnya. Sehingga dikukuhkannya kalbu untuk minggat mencari asal embun. Dia meninggalkan surat kepada Matahari, untuk tak usah mencarinya.

Lalu Embun meninggalkan pondok cintanya sambil tersedu, namun jalan sudah dipilihnya. Dia melakukan perjalanan panjang mencari laut. Kerna laut menampung segala embun yang dicuri oleh matahari. Embun berlayar ke tengah samudra untuk menyatakan cintanya kepada embun, dia menyelam hingga terdalam menjelang embun dan tak pernah  melambung kembali.

Di pusat kota terlihat dari balik kaca kantor lantai tiga belas, Matahari memandang hujan badai begitu parah. Air yang dicurahkan dari langit begitu deras tak pernah berhenti.  Semenjak Matahari kehilangan Embun.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun