"Aku ingin kita pindah ke kota, Embun".
Embun tertegun, meski telah membaca titik ini akan tercapai. Wajah yang menawan itu tersaru oleh sinar pulang mentari danberubah masygul. Embun terdiam seperti daun menunggu kabar embun pagi yang tak lagi pasti.
"Kamu tentu tidak keberatan bukan?". Terasa suara sang suami menghujam kalbunya. Tanpa kemauan Embun mengangguk lemah, mengingat patriarki harus mengikuti kehormatan lelakinya, Matahari, meski batinnya menolak hebat. Kecil hatinya membayangkan bahwa kota besar tidak akan menawarkan embun pagi yang sudah menjadi tempat takdirnya yang luas. Jikalah berpindah ke kota metro, Embun akan kehilangan takdirnya. Tak ada takdir, takkan pula ada kehidupan. Â Lalu Embun berhati perih.
Malamnya mereka tidur berpunggungan. Mata indah Embun mengembun,  memekat jenuh lalu  melelehkan linangan. Dia tidak merasakan air matanya hangat melainkan air mata sesejuk embun pagi di pipinya. Dalam mimpi tangis dia memanggil-manggil embun pagi untuk jangan mau dikosongkan oleh matahari.
Hari pun pagi, Matahari pergi bekerja, meletakkan kembali Embun pada hari. Dia menyongsong semua daun di taman, membelainya hampir semua basah yang ada di wajah dedaunan.
"Ini hari terakhir takdirku" bisiknya kepada mereka. Betapa sedihnya, terlihat dedaunan besimpati memperlambat perjalanan embun pagi di dalam sinar matahari, seakan enggan matahari menculiknya. Namun Embun melarangnya, kerna akan mengganggu kestabilan transportasi.
Ketika hari menjelang tinggi dan embun pagi telah jauh sirna, tinggallah menyisakan kantung mata Embun yang menawan, melamunkan kehilangan. Ada waktu seperti berkejaran di hatinya untuk mencari embun pagi, sebelum matahari memutar hari. Dia menolak ajakan Matahari pindah ke kota, Embun mau melihat takdirnya. Sehingga dikukuhkannya kalbu untuk minggat mencari asal embun. Dia meninggalkan surat kepada Matahari, untuk tak usah mencarinya.
Lalu Embun meninggalkan pondok cintanya sambil tersedu, namun jalan sudah dipilihnya. Dia melakukan perjalanan panjang mencari laut. Kerna laut menampung segala embun yang dicuri oleh matahari. Embun berlayar ke tengah samudra untuk menyatakan cintanya kepada embun, dia menyelam hingga terdalam menjelang embun dan tak pernah  melambung kembali.
Di pusat kota terlihat dari balik kaca kantor lantai tiga belas, Matahari memandang hujan badai begitu parah. Air yang dicurahkan dari langit begitu deras tak pernah berhenti. Â Semenjak Matahari kehilangan Embun.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H