Mohon tunggu...
Band
Band Mohon Tunggu... Supir - Let There Be Love

(PPTBG) Pensiunan Penyanyi The Bee Gees

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Lelaki dalam Novel

15 Maret 2021   13:06 Diperbarui: 15 Maret 2021   13:12 336
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Image by Angel Hernandez from Pixabay

Hari mendung sekejap pun hujan. Aku meraba kening yang lembab kerna uap udara yang sebentar lagi mencair. Bergegas melangkah masuk stasiun dan duduk menunggu kereta berikut yang akan merapat. 

Ruang tidak terlampau ramai sehingga ku punya ruang selain waktu, buat membuka buku yang baru saja ku temukan. Sebuah novel bergambar bayangan perempuan berjudul 'Berdamai dengan Kasihan', pengarangnya bernama Ismawati.  

Sebuah nama yang pernah sangat lekat dengan hidupku, namun ku amat yakin yang kumaksud bukanlah dia yang bukan seorang penulis.

Aku membalik sampul belakang yang berisi  bacaan sinopsis soal lelaki yang banyak membuat kesalahan dan mencoba keras berdamai dengan rasa malu.  

Ketika kubuka halaman demi halaman, aku membaca kalimatnya seperti kalimat kusendiri, terus menerus meninjaunya dengan mataku untuk melihat bahwa aku tidak membuat kesalahan. 

Padahal buku itu menunjuk segala kesalahan yang tidak bisa aku terima. Belum sampai dua belas lembar halaman aku sudah menutupnya dan mulai berpikir bahwa novel itu persis dengan kehidupanku. 

Seakan pengarangnya mengenalku dekat, membuatku penasaran untuk menelusuri lembar biografi pengarang tapi tak kujumpa. Hanya sebuah nama saja Ismawati.  Ketika ku tanyakan kepada seorang gadis di samping tempat ku duduk, dia menggeleng.

"Apakah kau mengenal nama Ismawati pengarang buku ini?" aku memperlihatkannya. Perempuan itu menggeleng meyakinkan.  Lalu aku bangkit mencari perempuan lain yang ku tebak seorang pembaca novel.

 "Apakah engkau mengenal dia?" Perempuan kedua itu menggeleng. Lalu aku menyimpan buku itu kedalam tas dan berjalan menyongsong keretaku yang sudah berisik. "Kupikir pengarang bernama Ismawati ini bukan penulis ternama" pikirku yang masih tersandera, sementara laju kereta sudah membawa tujuan.

Setiba di rumah aku melanjutkan novel temuan itu. Membaca halaman seterusnya yang mulai memasuki cerita tentang seorang perempuan yang ditinggal lelakinya tanpa sebab. 

Jalinan paragraf kata yang ditulis sederhana dan 'makjleb', seperti ditujukan kepada diriku sendiri dengan kisah yang sama persis dengan kisahku. Membuatku ogah untuk meneruskan. 

Tulisan ini menuduh, kataku dalam jiwa. Meski penasaran aku memutuskan rehat membacanya, memilih untuk melanjutkan kehidupanku sehari-hari.
Sehabis makan malam mie instan, aku mencoba menghubungi seseorang yang pernah tau tentang perempuan tersakiti.

"Apakah dia telah jadi penulis?"

"Setauku tidak? Kenapa?"

"Jika demikian apakah kamu kenal Ismawati yang penulis?"

 "Tidak mengenal!"

Dan aku belum menemukan titik terang soal novel yang kutemukan itu, lalu berniat untuk mencari tau ke toko buku besar esok hari. Aku pun pergi tidur untuk menggenapi lelaku hari.

Pagi hari ini adalah hari Minggu, sangat cocok untuk mengunjungi toko buku besar. Dan seperti keyakinanku, toko terlihat ramai pengunjung yang tampak seperti kaum terpelajar. Langsung ke tujuan, aku menanyakan apakah toko menjual novel yang kutunjukkan. Pramutoko itu memandang buku yang ku perlihatkan, lalu berjalan ke komputer pencari.

"Tidak ada pak" simpulnya."Penerbitnya sapa pak? Maaf" dia menelusuri halaman satu. "Enggak tertulis penerbitnya pak?" lanjutnya dengan wajah keheranan.

"Baiklah. Terima kasih" aku mengucap budi baik usaha anak itu, dan mencoba jalan lain yaitu mengontak kelompok penulis indi, barangkali mereka memiliki informasi dan bisa membantu. Tak lama aku menemukan kelompok ini berkat relasi yang kumiliki, dan aku berjumpa langsung dengan ketuanya yang kebetulan sama bernama Indi.

"Apakah Indi mengenalnya?" tanyaku dengan pertanyaan sama. Indi tampak teliti menyambut buku yang saya sodorkan dan memeriksa seperti ahli sejarah. Namun akhirnya dia menyerah.

"Nyerah Om, yang pasti ini bukan novel indi" jawab akhirnya.

"Terus harus kemana lagi yach?" aku bertanya lebih kepada diriku sendiri.

"Coba tanyakan ke Kompasiana, Om.." Indi memberi ide. "Wah, bener juga tuh.. terima kasih Indi" jawabku, terus ngeloyor ke Kompasiana. Lalu saya berselancar di blognya, mencoba mengontak kompasioner teladan untuk mencari info. Namun lagi lagi nihil, tak ada jejak yang bisa ditelusuri, dan aku membawa kembali pulang misteri novel berjudul 'Berdamai dengan Kasihan' ini.

Saat malam hening, aku memberanikan diri untuk meneruskan membaca novel yang kemarin terhenti. Berpuluh halaman pun aku lalap dengan berat hati kerna jalan cerita yang kian serupa dengan jalan hidupku. 

Bercerita lebih dalam tentang akhir kisah seorang perempuan yang meninggal kerna ghosting lelakinya, sementara sang lelaki pada akhirnya begitu menyesali kelakuannya. Sampai dilembar terakhir aku berhenti membacanya, tak ingin membaca tentang nasib lelaki ini diakhir cerita.

Hingga keesokan hari ketika matahari sedang dalam perjalan pulang, mentari yang frustasi kerna harus menyerahkan cahayanya kepada malam,  lalu menempatkan ku menyendiri di tepi rel ujung stasiun kereta yang mulai sunyi. 

Novel itu masih ku genggam erat sementara aku tak berkehendak membaca halaman akhir cerita tentang nasib lelaki di dalam novel itu.
Apakah sama dengan diriku yang telah pasrah di tepi rel baja kereta.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun