Mohon tunggu...
Band
Band Mohon Tunggu... Supir - Let There Be Love

(PPTBG) Pensiunan Penyanyi The Bee Gees

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Dongeng: Spons Penyerap Banjir

24 Februari 2021   22:06 Diperbarui: 24 Februari 2021   22:20 230
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Image by Clker-Free-Vector-Images from Pixabay

Hari ini hujan panjang banget, air yang tercurah seperti lidah-lidah yang hendak menelan bumi masuk kembali ke langit. Dimulai sejak dini yang rabun hingga siang tanpa warna, gumpalan kabut dan angin di atas, kompak mendorong air yang jatuh memukul tanah seperti godam. 

Jalanan kota menyerah ketika drainase memuntahkan kembali alunan likuid yang menjadi beban tak terperi, sehingga air berlari kesana-kemari, menaiki 'hotmix' jalan. Seketika pun air tak lagi memiliki ruang, berkejaran lalu saling menindih, berebutan tanpa henti saling mengatasi. 

Lalu terjadilah genangan-genangan yang segera pula saling melapis, mulai menaiki pagar terus meranggas dinding-dinding beton rumah, bangunan, dan meninggalkan kolam.

"Banjir! Banjir!" Bapak-bapak berteriak, ibu-ibu menjerit dan anak-anak berkecipuk. Pagi yang tadi lelap telah terlelap bah. Pemukim yang memiliki rumah tingkat berevakuasi mandiri ke lantai berikut, sedang pewaris rumah lantai tunggal sebagiannya mengungsi, sedang beberapa yang pemberani masih bersikeras nongkrong di atas genting. Mulai sudah kesibukan perahu berbahan karet hilir mudik menyapa korban, memeriksa dan mengangkut penduduk yang menyerah harus merelakan griyanya.

Sementara di kantor penyelidikan kota banjir terlihat kesibukan super berkolaborasi dengan badan peramal iklim, para cendekia tak berhenti mengulik celah teknis untuk menaklukkan tumpukan air. Maklum segala upaya telah di 'update' beberapa bulan sebelumnya, dari cetak biru yang sudah dibuat jauh semasa kumpeni. Namun air tetaplah air, dia menenggelamkan sekaligus sebagai pelepas dahaga.

Sementara berita-berita ternama kota yang selalu memunculkan suara sama, kembali memunculkan kutipan yang sama seperti paduan suara.

"Hujan turun ekstrem senilai 200 sedang selokan cuma mampu100, jadi kita tekor cepek!"

"Banjir onlen atau banjir kiriman, membikin kas tanah kering tambah defisit". Demikian berita tertulis.

Sedang di pojok ruang pengungsian yang riuh terlihat sosok anak kecil bertubuh kering menyendiri duduk kedinginan, seorang relawan yang baik hati menghampiri dan memberikan selimut bantuan dan sebungkus biskit. Dituangnya termos air hangat sebagai penghangat perut mahluk kecil itu.

"Kamu sapa?"

"Pon"

"Nama kamu?"

"Pon.." Lelaki kecil itu menjawab sama.

"Tinggal di mana?"

"Di balik kota, Kak"

"Di kampung belakang?"

Dia mengangguk. 

"Sama sapa?"

"Sendiri.."

"Orang tua?" 

Lama Pon kecil diam berjeda, mata kecilnya seperti mengapung tinggi. "Sudah meninggal, Kak.."

"Maafkan.."

"Nggak apa, Kak."

"Terus kamu kerja apa?"

"Bersihin kaca mobil di lampu merah, Kak." Jawabnya polos. Kakak pembina itu mengangguk menatapi perkakas kerja yang tergeletak di samping teman kecil barunya itu. Sebuah ember berisi sepotong busa spons yang kusam namun tampak resik. 

"Mungkin kamu perlu mengganti busa itu.."

"Enggak Kak, biar sudah pudar spons itu masih menyerap dengan baik, tergantung cara kita memakainya" Jelas Pon seperti ahli. 

"Maksudnya?"

"Spons bisa menyerap sebanyaknya asal rajin diremas dan dibersihkan"

"Oh, begitu?"

"Iya, Kak"

"Jadi adanya banjir ini membuat kamu tidak bisa bekerja ya?"

"Benar, Kak.."

"Baiklah. Kakak tinggal dulu, ya" Lalu kakak 'rescue' itu berpindah ke penderita lain, meninggalkan anak Pon menyepi. Air hujan adalah sahabat yang memberkahi rejeki para pengusap kaca jalan, namun ketika menjadi banjir dia bukan karib lagi. Ah! Saat kekuatan lunglai tak berdaya menatap karam, ingin rasanya dia mengusir banjir dengan melesapkan segala likuid itu ke dalam busa gabusnya. Seandainya! 

Pon cilik merenung tentang keajaiban dari balik mata sipitnya yang mengantuk hingga tak lama membenturkannya ke dalam lelap yang dalam. Menukarkan derita lelah untuk menemukan kebahagian dunia lain yang dinikmati dalam baringnya, Pon bisa melepas raga kecilnya yang penat untuk bermain merdeka bersama busa kehidupannya di dalam mimpi. Hingga membawa kepada mimpi bertemu dengan bapaknya yang telah lebih dahulu berangkat.

"Bapak..!!" Pon mengeluarkan kata yang sejak silam tak pernah di ucapkan. Matanya berair, sedang bapak hanya tersenyum menatap sang putera kecilnya. Bapak mendekatinya dan menyorongkan sebongkah busa gabus, persis seperti milik Pon, pudar namun bening.

"Ini serupa dengan spons Pon, Pak" Pon meraihnya, sementara bapak serta merta berbalik dan menghilang.

"Bapaaak..!!" Pon berteriak keras, mengagetkan pengungsi bersebelahan. Rupanya dia bermimpi dan pagi sudah menyeruak namun masih meletakkan banjir bah di sisa gerimis. Pon memeriksa spons miliknya di dalam ember, diremasnya lembut gabus kusam itu lalu diusapkan ke pipi cekungnya. "Persis yang diberikan bapak" dia bergumam.

Mentari yang malu mulai tampak condong, menggerakkan tubuh Pon untuk bebersih diri menuju pelataran pancuran darurat untuk mandi. Menjinjing ember dan spons yang digenggam tangan satunya, Pon membuka kran dan menadahkan air mengisi penuh embernya lalu mencelupkan sponsnya.

"Hahh!" mata kecilnya terbelalak menatap air di ember yang tiba-tiba surut saat busa menyentuh. Seketika spons dicelupkan ke dalam ember, seketika itu pula air musnah terserap habis oleh spons di genggamannya. Pon celingak-celinguk memastikan sekitar, lalu kembali mengisi embernya penuh dan mencelupkan spons, serta merta air kembali gaib terlesap. Diulangnya kali ketiga dan didapati hal serupa. Tubuh kurusnya bergetar sambil menatap spons lawas di tangan.

"Spons Ajaib!" Pon mendesis, lalu berlari sambil mencengkeram kuat gabus busanya, keluar bangunan darurat menyusur tepian jalan batas banjir. "Aku akan mengisap air banjir!" Teriaknya bertelanjang dada.

"Hei Bocah! Keluar dari situ!" berbarengan pasukan penjaga banjir berlari mengejarnya, tapi Pon kecil keburu membenamkan sponsnya kedalam air banjir terdekat, yang seketika air terhisap musnah. Pon pun maju jauh ke kedalaman air dan kembali mengusapkan spons buluknya, dan mendadak jalan-jalan mengering. 

Begitu seterusnya Pon meluaskan langkah renangnya sambil mengusap ke seluruh muka banjir tanpa henti hingga menyisakan daratan kerontang tanpa setetes air tersisa. Tak lama areal banjir kota menghilang, dan penduduk bertepuk tangan 'standing ovation' mengagumi spons Pon.

"Spons Ajaib!" Pon senang terbahak-bahak, sehingga suaranya memenuhi ruang pengungsian. Orang-orang pun tersenyum dan membangunkan tidur siangnya. Rupanya Pon kembali mimpi kedua kalinya, tergugah dan tengsin sendiri. Tangan kurusnya meraih spons kesayangannya dan ditatapnya tanpa henti. Sedikit kecewa hati membuat perutnya keroncongan, sehingga Pon lemas dan kembali lagi tertidur. Dalam lelap Pon kembali bermimpi bertemu bapaknya, Pon begitu bahagia, dia yakin bapaknya akan berpesan penting untuknya dan Pon menunggu.
Kata bapaknya.

"Busa spons menyerap air, seperti otak kita yang keluasannya tak terbatas menyerap pengetahuan seluasnya, lalu menggunakannya untuk mengeluarkan pikiran-pikiran berdasarkan kekuatan kesadaran manusia yang sangat besar". Tamat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun