Inka gadis tercantik di dunia menatap hujan lewat kaca kamar yang berembun. Diperhatikannya bahwa air yang jatuh bukan lagi serupa 'shower' kamar mandinya.Â
Air hujan itu telihat pejal kerna berebutan tiba ke muka bumi hanya untuk pecah berantakan. Tak terlihat keindahan irama garis-garis hujan seperti lagu-lagu melankoli yang digandrunginya.Â
Inka enggak sukak, tergambar dari kaca akan bias paras putihnya yang memburam, bibir indahnya yang tersketsa memberengut, mata beloknya menyipit sehingga menggantungkan kantung matanya menjadi lebih menggemaskan. Hujan kali ini bagai sumur yang datang menakutkan. Inka menuliskan kata di dalam hatinya, aku sudah tak mengenal kamu lagi hujan!Â
Dari lantai dua kamar mewahnya yang seperti milik 'endorsan', Inka menatap genangan di halaman bawah rumahnya yang semakin meninggi. Tampak genangan air bergerak dan berputar, bahwa luapan air itu seperti mengabarkan tentang lapisan misteri yang tidak pernah diketahui siapa penghuni didalamnya.
"Inka, tutup tirai jendelamu!" Terdengar suara cempreng mamanya dari lantai bawah. Inka terkejut. "Baik Ma" Balasnya. "Bukankah kemarin kamu pingsan ketika ada petir memecah?" Mamanya  seketika muncul dimuka tangga.Â
"Iya Ma" Inka beringsut menyudut ke pembaringannya yang super mahal, wajahnya cantiknya merunduk, ketika tangan mamanya memeluk dan membelai rambut pirangnya.Â
"Maaf, mama tak bermaksud menakuti kamu sayang, mama hanya ingin kamu menjauhi hujan. Mengerti kan princess mama?" Mamanya mengalem-alem putri semata wayangnya.Â
Dalam dekapan mama Inka merasa nyaman. Iya, sebenarnya mama sudah was-was, semenjak  kecil Inka memang menyukai hujan dan selalu bernyanyi tentang hujan, dari lagu kanak-kanak, 'Tik, tik, tik bunyi hujan diatas genting..' atau 'E, ujan gerimis aje', hingga  tembang bule 'Rythm of The Rain' di masa  milenialnya kini.
Ter'flash back' semenjak akhir tahun kemarin, saat hujan mengguyur ekstrem  disertai gelegar samber gledek, sebenarnya Inka mulai dihinggapi rasa cemas dan mulai bermasalah. Â
Hal ini berulang disaat  langit mendung dan hujan mengguyur, ada ketakutan datang merayap menggetarkan kalbunya, apalagi ketika hujan melebar menjadi gahar seperti sekarang ini. Beruntung mama selalu bisa menenangkannya saat Inka menjadi tak keruan menghadapi hujan kronis macam ini.
Dan hujan nakal kali ini menggeruduk genting rumah empat lantainya berkepanjangan bagai ditimba. Inka pun mengalami  termor  dan mesti tidur dalam pelukan mama semalam penuh.
Hujan reda ketika waktu hari menempuh pagi. Orang-orang ramai memberitakan banjir dua meter dan Inka mendapati lantai dasar rumah digenangi air. Mama menahannya untuk tetap berada di lantai dua kamarnya dan mengancam untuk tak perlu memandang air banjir di bawah.
Meski takut Inka penasaran untuk melongok banjir ke ruang bawah. Jemarinya bergetar saat menatap air dibawah mengayun lunglai, dalam, dan sunyi, layaknya air tanpa lantai yang mengerikan. Â
Dalam remang cahaya tanpa PLN, genangan itu tampak seperti sumur yang menawarkan lubang hitam. Â Tidak ada wajah yang bersahabat dari tetangga dunia lain sebagai penghuni di dalam sana.
Inka bergidik bulu romannya,  membawa kesadaran bahwa air banjir itu hanya memperlihatkan permukaan air seperti lapisan kaca sementara masih banyak lagi dibawahnya yang tak terduga membawa kedalam misteri  yang menawarkan jurang tak bertuan.  Sebuah sumur tanpa warna, diam, dan menyeramkan.
Berlama menatap banjir, tubuh Inka melemah dan melorot roboh. Mama naik berlari panik menyambut tubuh semaput anak wedoknya. Â Berteriak memanggil para asisten rumah tangga untuk emergency.
"Sudah mama katakan, kamoeh tidak perlu melihat air lagi, kan!?" Begitu omel mamah saat Inka mulai siuman. "Jangan marah-marah mama sayang, Inka pusing, mual dan darah rendah nih" Inka masih bisa protes dengan mata terpejam. Seketika mama sadar lalu menurunkan tensi, membelai rambut 'ences' kesayangannya itu. Â
Masih terbaring di ranjang, Inka membuka matanya, merasakan vertigo pusing tujuh keliling. "Air itu masih di sana Mah..." Lirih Inka bertanya. "Sudah sayang kamu tak perlu menggubrisnya lagi, kan?" Bujuk sang mama. "Inka takut, Mah..". "Kan ada Mamah.."
"Banjir itu seperti sumur tanpa dasar dan sama sekali tanpa pantulan cahaya , di dalamnya seperti ada  hantu menakutkan Mah. Inka enggak mau melihat banjir lagi.."Â
Tiba-tiba mata Inka terbalik balik dan kembali pingsan. Mama dobel senewen berusaha menyadarkan  dengan wewangian kayu putih dan berhasil menormalkan kembali kesadaran Inka, namun tak sepenuhnya, Inka masih terbujur lunglai. Â
Mama bingung kerna hanya itu yang dapat diperbuat, mau menelpon dokter keluarga tidaklah mungkin, kerna banjir sudah mengepung. Kecuali evakuasi bersama tim karet yang beberapa kali sudah keliling perumahan mewah tersebut. Namun mama belum memutuskan tindakan kerna Inka akan pingsan bila melihat banjir.  Mama pun terus  berdoa supaya diberikan pertolongan dari atas.
Dan bersama gerimis tersisa, Â doa mama dijawab ketika terdengar ketukan keras dari luar jendela kamar. Bergegas mama menjelang daun jendela kerna menduga tim penyelamat banjir tiba, namun ternyata diluar dugaan.Â
Mama terkejut ketika membuka jendela mendapati seorang nenek mengapung  diatas sebuah gedebog pisang. Terlihat lincah dipermukaan air banjir dan sigap melompati pagar teras lantai dua, lalu menyeruak masuk melalui jendela.
"Nenek ini siapa??" Tanya mama. "Hihihi.. jangan panggil aku nenek, aku bukan nenek gerandong atau nenek gayung. Panggil aku Neli.. Hihihi..." Nenek tertawa geli. "Apakah maksud kedatangan nenek ditengah banjir ini?". "Aku mau mengobati cucuku..hihihi". "Siapa?". "Cucuku Inka, kelihatannya dia mengalami trauma banjir parah..hihihi..". "Betul, Neli.." Jawab mama seperti tersihir.
Lalu sang nenek mendekati ranjang Inka dan membelai keningnya yang membuat Inka tersadar. "Nenek.. Inka takut.."." Tenanglah, nenek akan menyembuhkanmu".Â
Lalu nenek mengeluarkan sebuah botol kaca dari balik baju 'longdress' nya. "Turunlah ke bawah dan isilah botol ini dengan air banjir itu!" nenek memerintah kepada mama sambil menyorongkan botol beling itu. Bagai dicucuk kerbau mama berlari menuruni tangga dan mengisikan botol dengan air banjir dan menyerahkannya kepada nenek.
Kemudian nenek merangkul tubuh Inka duduk di pelukannya, sambil memperlihatkan botol berisi air banjir itu dan memberi petuah.
"Lihatlah, kau tak perlu takut lagi kepada segala penghuni banjir ini. Airnya sudah kita tangkap.. Hihihi..".
Inka mengangguk tersenyum.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H