Mohon tunggu...
Band
Band Mohon Tunggu... Supir - Let There Be Love

(PPTBG) Pensiunan Penyanyi The Bee Gees

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Menguak Debu

19 Februari 2021   17:42 Diperbarui: 19 Februari 2021   17:48 153
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Image by S. Hermann & F. Richter from Pixabay

Hari kemarin Rabu menjadi sendu. Bumi pun kelabu tersaput abu. Barangkali mulai banyak yang pergi kembali ke debu.  Aku sedang mempersiapkan kerutinan hari, ketika Robin menahan ku di pintu. "Kau mesti bantu aku" Ujarnya menghalangi tubuhku. Namun aku bilang aku mesti melaksanakan matahari, seandainya nanti setelah senja pulang, aku akan siaga menolongnya. "Tenang saja aku pasti membantumu, kerna engkaulah sobat ku yang terdekat di dunia ini, Robin!" Jawab ku menenangkan hatinya.  "Baiklah, semoga tidak terlambat, kawan ku.." Robin berbicara, matanya seperti mata burung yang terkurung. Aku menepuk pundaknya.  'Bersabarlah brader, semua bisa di tunda kecuali mati'. Aku menasehati dalem. Mungkin dia tak menyimaknya serius, hanya meletakkan diriku di muka pintu, lalu seperti terbang Robin pergi. Tak ada yang istimewa dari kebiasaan, hanya hari-hari terakhir ini ku rasakan melambat. Kerna mendapati udara yang mulai lebih memadat. Ada debu di udara seperti menyimpan rahasia.  Dari balik masker bebek, aku menarik nafas tertunda, dunia serasa memang berdebu. Jalan yang merupa sunyi, kini terhalang kain-kain penutup, hanya tatap mata saja yang terlihat. Menuntunku melangkahi jalan yang pernah berembun, menuju stasiun bawah bumi.  Berhenti lama di titik ini, aku seperti berada di moda perjalanan jiwa dari satu perjalanan kehidupan.

Kereta elektrik terlihat di kejauhan, mencuitkan suara, tanda para penumpang bermasker untuk bersiap ke langkah pintu. Namun aku masih berpikir untuk menghindar. Sementara ular besi itu semakin mendekat, tubuhnya pula berdebu, bagai sehabis keluar dari aerosol bubuk yang segera merapat dengan bunyi mendesis, untuk orang-orang naik berurut. Aku bergeming, berdiri menepi sendiri, sayup ku dengar nyanyian di telinga. 'People get ready. There's a train a-coming..' . Ku memandang awan lewat kisi-kisi atap stasiun, seekor burung melintas lesu, terbang menembus partikel halus debu yang mengambang. Kicaunya kecil dan lirih. 'Robin, sobatku dimanakah engkau?' Tiba-tiba aku terbayang dia, seorang sahabat setia, yang kerap kutinggal kerja. Lalu kuputuskan berhenti sehari kerja untuk memikirkannya dan mencarinya. Barangkali burung di angkasa itu membawa pesan perihal Robin kepadaku.  

Hari menuju terik ketika tiba di kamar sewa Robin, namun kudapati pintu terkunci rapat. Dengan santun ku permisi ke pintu kontrak sebelah, dan tetangga itu menyatakan jika Robin telah sepekan tidak kembali. "Terima kasih, teman Robin" Aku mengucap kamsia. Lalu berjalan menyusur jejeran petak-petak dinding sewa pasukan Robin.  Semakin menjauh terlihat bagai kotak-rumah burung menyenangkan, disamping itu aku merenungkan dimanakah gerangan Robin, yang datang tadi sepagi. Aku tak menemukan tanda jejak ataupun angin ke arah Robin berada. Aku sendiri kurang mengetahui kerabat atau taulan yang bisa di relasi, kerna setauku Robin itu perantau dari Selatan. Penyendiri dan hanya akulah orang kedua dan satu-satunya buat dia yang ada di bumi ini. Serius. Robin pernah curhatkan separuh rasanya kepadaku. "Ah! Robin kamu terbang kemana?". Aku bertanya kepada langit yang melemah teriknya, kerna abu diatas masih saja mengapung. Ku rekatkan masker memenuhi hidung, membuka perangkat genggam untuk mencoba mengulik kota di Selatan dengan atlas 'Google', tempat kota asal Robin di lahirkan. Arah penunjuk bergaris merah dan jelas, tapi lokasi teramat lebar tanpa 'notch'.

Seusai mencapai rumahku, aku memanaskan mobilku yang terparkir diam di garasi, lalu keluar bergerak menelusuri garis dan suara google, menuju Selatan, kota asal Robin. Perjalanan memakan waktu empat jam, hingga akhirnya aku mencapai  Selatan. Hari menjelang senja, ketika aku memasuki kota Robin di Selatan, senja tampak lebih senja dari Utara tempat ku berasal. Warna tawangnya lebih kelabu, dan debu yang ada lebih lebat dari Utara.  Aku berhenti menepi,melangkah keluar kendaraan untuk melemaskan kekakuan pinggang. Jalan sepi, tak terlihat manusia. Hanya rumah rumah berwarna diam tertutup. Sedang senja makin tidak kentara lantaran debu.

Hanya seekor burung melintas lelah, terbang sedikti rendah menghindar pekat. Cuitnya hanya sekali-sekali, lamban namun tetap berjalan. Aku menatapnya dan berpikir taklah salah menyusuri burung itu untuk mencari kehidupan sedikit kota. Bergegas ku hidupkan 'engine' dan melaju mengejar unggas seakan pemberi arah. Dan benar! Tak berapa waktu, aku mendapati deretan bangunan hidup yang bersinar lampu, sementara sang burung lepas menghilang."Terimakasih, kawan burung!" aku berteriak ke atas, namun mungkin dia tak mendengar.  

Lalu aku menepi di muka salah satu rumah yang bercahaya sedang dan menghampiri lalu mengetuk pintunya. Seorang lelaki tua menyeruak, wajahnya sama denganku,memakai masker namun lebih ekstrim, maskernya hampir memenuhi separuh wajahnya, manalagi orang itu memakai kacamata hitam. "Selamat petang, Mbah" Aku membungkuk sopan. Dan Embah kakung itu diam saja. "Apakah ini kampung Robin?" Aku bertanya dengan volume keras, kawatir dia sedikit budek.  

"Owh! Iya. Ndak jauh dari sini kisanak. Sampeyan nanti mbelok kiri ada taman agak luas. Situ itu kampung Robin". Embah menjawab rinci. Ternyata aku salah duga, Embah itu orangnya 'well managed'. "Sampeyan mencari sapa toh?" Takon Embah lagi. "Saya mencari teman kulo". "Sopo, toh?". 'Namanya Robin, Mbah" . "Lah! Kabeh disana namanya Robin, jee.." Jawabnya mengekeh terdengar dari balik maskernya.  Aku bingung mendengar penjelasannya. "Tapi serius. Nama teman saya itu Robin, Mbah" Aku ngeyel. "Ya sudah. Cobak-cobak saja sampeyan kesana. Mengkali ketemu, ya. Tapi di area sana debunya tetel nak". Orang sepuh itu seperti menasehati. "Baik Mbah tidak apa-apa. Matursuwun" kataku undur diri. "Nggih!".

Petang hampir beres, ketika ku tiba di kawasan yang ditunjukkan oleh Mbah Kung tadi. Udara mulai gelap-remang, dan benar saja, debu yang membentang terlihat lebih tebal, namun mataku masih bisa memandang meski kadang samar. Tak ada penerang kecuali cahaya bulan muda yang sedang meng 'kup' mentari. Ku perhatikan hanya tanah kosong sekeliling yang terdiri dari banyak  gundukan yang berderet rapih. Terlihat pula beberapa pohon besar menyelip diantara timbunan-timbunan tanahnya.  Pohon-pohon itu tidak berdebu sama sekali, meski atmosfer di bawahnya bermukim lapisan debu. Sehingga jelas ku dapat melihat diatas pohon-pohon itu, banyak sarang burung yang berwarna keemasan saat tertimpa oleh garis cahaya bulan.  Aku terdiam lama, tanpa siapa-siapa di tengah debu.

"Robiiin.." Aku memanggilnya. Hanya sepi, sayup ku dengar cuitan burung dari salah satu sarang di atas pohon.  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun