Mohon tunggu...
Band
Band Mohon Tunggu... Supir - Let There Be Love

(PPTBG) Pensiunan Penyanyi The Bee Gees

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Membuang Memori

17 Februari 2021   15:25 Diperbarui: 17 Februari 2021   15:30 163
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Image by from Pixabay

Namanya Jane, kepanjangannya saya kurang bisa mengejanya, susah kerna sangat asing. Lebih nyaman saya memanggilnya Jane, seperti segala orang memanggil namanya. Jane seorang pramugari yang ramah, cantik dan baik hati. Saya berkenalan kerna kerap bertatap dengan dia di penerbangan kebiasaan saya. 

Kami lebih berbincang dibanding dengan 'passanger' lain saat kapal udara masih pemanasan atau baru usai mendarat. Seperti saking kerapnya ketiadaan Jane atau saya di penerbangan itu, akan membuat satu lubang kehilangan. 

Beberapa kali kami rasakan ketika saya berterbang tanpa Jane di gugus tugas, saya seperti kehilangan tambahan memori di kepala saya. Seperti lubang di awan yang mencipta turbulensi. Begitu sebaliknya, jika Jane bertugas tanpa menemukan penumpangnya, yaitu saya, dia merasakan hal serupa. Itu katanya.

"Kenapa kau suka terbang, Kakak?" Berawal dia bertanya.
"Saya suka berpergian". Saya menyahut.
"Tugas?". "Bukan! Saya suka terbang"
"Ohya? Kita sama". "Kamu juga suka terbang?"

Dia menekukkan kepala bagai mengisahkan tentang lehernya yang jenjang  yang tertampak indah. Lalu dengan sigap menutup pintu palka laci atas sehabis saya pepakkan ' carrying bagage' saya kedalamnya.  "Terima kasih" Kata saya berbasa yang basi. "Tidak mengapa, ini memang tugas saya". Dia menjelaskan ringkas dan renyah, sembari melepas senyum, lalu meladeni tetangga duduk saya.

Itu perdana kami berkontak mata dan kata sampai berlanjut kekinian. Layaknya kami bagai sahabat, atau sejoli, atau entahlah, sementara membiarkan  saja makna yang nanti kelak memutuskan. Memori perdana saya dan Jane pramugari ramping semampai, adalah sepenggal awal udara yang sepertinya biasa tak lebih kerna tuntutan kerja matahari sehari-hari. 

Hingga kejadian berulang-ulang, membuat kami terbiasa memiliki wajah masing-masing di dalam kepala.  Penerbangan saya yang berkuantitas, paling enggak lima kali dalam sepekan, membentuk memori baru yang sebenarnya harus saya hindari. Namun apa hendak dikata, ketika mata menerpa tanpa media lain, selain melulu atmosfer, saya dan Jane seperti terbentur di ruang kosong, melayang tanpa pegangan kecuali menghinggapkannya ke dalam ingatan.

Selepas mengangkasa suatu ketika kami bersinggungan dengan daratan, barangkali Jane memerlukan bidang datar untuk berjejak namun tidak demikian halnya dengan saya.

"Akhirnya aku bisa menangkap kamu di darat" Jane membuka bibir rekahnya seperti menghirup lega, sedang saya masih  mabuk 'jet lag' dan berusaha mengambil keseimbangan dengan menyeruput air jeruk di kafe tempat kami berbincang.  "Kamu tampak ringan, Jane. Mau kopi?". Saya menawari bak 'gentleman'. "Mau sekali!" Jawabnya antusias. "Sampai kapan kamu berlanglang udara?" Jane membuka cakap lagi. "Saya tak tau Jane..". 

Bagaimana kamu?". Saya lihat mata indah Jane menyusuri atap tinggi bandara tiga. "Entahlah..". Katanya halus tak terdengar.
Lalu kami tersunyi menyilakan pandangan ke lalu-lalang mobil listrik pengangkut awak dan lansia, serta membekukan tubuh kami didekap dingin ac airport yang  bersuhu dibawah normal. "Kau mau aku antar pulang?" Tiba-tiba Jane menyergah. "Aku bawa kendaraan" Lanjut kata perempuan elok itu. Saya memandangnya menggeleng. "Saya malas pulang Jane. Sudah silam saya enggak pulang..". "Kenapa kita bertakdir sama? Aku pun demikian, cukup panjang untuk tak kembali ke rumah..". Jane merespon yang telah lama saya duga.
Lalu saya mendekat tubuh wanginya, memegang tangan lembutnya. "Tak mengapa. Mungkin kita perlu menjeda bumi, Jane..". Wanita rupawan berrias tipis itu membalas jemari saya. "Mungkin.." Katanya berbisik.

"Kapankah ini selesai?" Jane seperti bertanya kepada diri.  "Saya masih memerlukan sayap-sayap ini, maaf Jane.." Mohon saya. "Ku pikir kau tidak akan bisa menyelesaikannya..". Wajah Jane memelas, membuat saya semakin enggak tega. "Saya akan melakoninya, Jane apapun..". "Iya, tetapi aku pikir, aku masih tetap memiliki bumi.." Ucap Jane yang saya lihat pipinya mulai berkilat basah.
Hari kesatu, "I don't like Monday" merekahkan pagi. Sementara saya telah bersiap di terminal tiga SuHa yang kelewat beku, menekan 'check in' auto, lalu melepas dasar ke lantai 'boarding'. Hari bahagia memulai saya kembali melangit, yang saya tandai dengan debaran jantung yang selalu hadir. 

 Selintas pandang, mata saya menelisik serombongan pramugari berbalut 'fabric' cerah berjalan menyeret 'lugage' rodanya. Namun tak terdapat Jane. Begitu pula sampai ketika 'air craft' tertutup, bersiap untuk melepas alas betonnya, tak tertangkap sekerjap pun pandangan seorang Jane. Dan saya memaklumi, walaupun seharusnya dia ada. Kemudian, seperti layaknya, pesawat bersecepat kilat untuk memenuhi 'throttle' nya guna mengangkat tubuh raksasa bersayapnya menyudut langit.  Perlahan dan menyepat terbang menebas awan, selalu yang saya rasakan,  tubuh saya memiliki sayap dan terbang melarikan diri dari ingatan.  Terbang mendekat langit, membuat saya bisa membuang memori yang membentuk lama di bumi yang membebani kepala saya. Bersama sayap saya bisa melepaskan memori-memori predator yang memburu dan memakan setiap memori-memori baru saya. Dari jendela oval pesawat bersayap, saya merenungi wajah  wanita Jane.
"Maafkan saya Jane. Tak ada guna kamu bersikeras mengumpulkan serpihan-serpihan memori saya"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun