Mohon tunggu...
Band
Band Mohon Tunggu... Supir - Let There Be Love

(PPTBG) Pensiunan Penyanyi The Bee Gees

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Satu Perempuan Melewati Desa

13 Februari 2021   00:40 Diperbarui: 13 Februari 2021   01:46 178
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Image by Christina1966 from Pixabay

Aku sering melewati desa, ketika pulang dari sekolah. Aku memilih tidak mengambil kendaraan umum yang melintasi jalan lingkar beraspal tulus. Aku lebih suka memilih berjalan di sore lembayung melewati satu satunya desa yang tertinggal di area kota riuh-rendah untuk pulang ke rumah meski terbilang lebih panjang. Desa yang saban kali menaikkan tanda tanya ke dalam kalbu, apa saja yang mereka lakukan disana?.  Aku memang hanya penyisir jalan sepanjang tepi desa dan kurang berkenan berinteraksi dengan para penghuninya. Perasaanku menyiratkan untuk tak hendak mengganggu kedamaian mereka, bersikeras menghindari pandang atau mencari tahu gerangan jumlah keramaian pemukimnya. Aku bertanya-tanya mengapa desa ini begitu tenang, sekaligus bersoal mengapa aku turut terhanyut mengikuti ketenangannya. Kamu tau, biar aku bisikkan. Bahwa desa itu lebih tenang dari matahari terbenam dan lebih sejuk daripada fajar. Banyak bunga aster yang berani tumbuh disitu dimana burung juga gemar beterbangan.  Sepanjang ini, belum pernah aku sekali jua bersemuka dengan satupun penduduknya. Barangkali mereka orang-orang yang  super sopan, pendiam dan baik hatinya yang banyak menjerangkan waktunya di dalam rumahnya. Hampir segala rumah terlihat menutup pintu lembutnya, tampak dari kejauhan. Aku menyenanginya, berjalan melintasi desa sunyi yang rendah hati, di lumuri sinar senja berwarna emas.

Biasanya selepas matahari membenam, aku akan tiba di halaman rumahku yang asri. Tak satu yang menyambut ketibaanku, memang sehari demikian adanya. Aku sendiri di rumah, kerna mamaku bekerja di batas kota lain dan sekali seminggu pulang menjenguk untuk segala kelengkapanku. Kata tetangga yang berdempet, aku adalah anak yang tabah dan berani, padahal aku biasa aja gitu loh. Aku pikir pandangan mereka lebih berbicara daripada verbalnya, tatapan mata mereka berbicara tentang belas kasihan kepada diriku. Mungkin kerna aku harus pergi sekolah dan di tinggal sendiri, seperti anak sebatang kara. Tapi aku tidak begitu hirau.  Aku merasakan rumah yang aku tinggali hanyalah sementara, bahkan aku prefer kepada kenikmatan yang aku selami saat berjalan menyusuri desa tenang setiap pulang sekolah. Itulah sebabnya aku jarang berbicara kepada tetangga, habisnya merekapun  seperti tak mau bercakap ketika menatap ku, bahkan mereka seakan-akan  enggak melihat ku.

Sehabis membasuh tubuh biasanya aku berbaring, menatapi bintang-bintang di layar langit hitam lewat jendela besar kamarku. Aku selalu males makan malam karena perutku selalu kenyang setelah bermain dan melahap makanan mewangi yang berjejer di sepanjang desa tenang yang ku lewati. Sebelum lelap aku selalu membuka jendela sehingga bau malam dan aroma rumput menyapu masuk ke dalam kamarku sampai mencipta kantuk yang datang menyergap. Aku menyukai bau rumput basah di gelap malam dan juga wangi aster yang minim namun meninabobokkan bablas ke dalam lelap sonder mimpi.

Di pagi yang paling pagi, aku terjaga dan menguap teh harum dan beberapa tumbukan gandum tipis sebagai sarapan. Biasanya aku tak mandi kerna saban melek pagi aku kedinginan hebat, entah mungkin bawaan sejak usia ku menginjak akil balik, mungkin sekitar enam belas tahun. Jadi pasrah membiarkan tubuhku menanti mentari menyerang dengan radiasi yang memancar dari piringannya, menyelusuri seluruh tubuhku hingga menghangat. Setelah siap 'already' akupun melangkah menuju sekolahku. Hari mulai menyemprotkan panas dan aku enggak suka terlalu panas, jadi aku memakai pelindung seperti selimut berwarna putih, untuk menaungi kulit tubuhku yang sangat sensitif. Kata mamaku, biar perjalanan ke sekolah, tubuhku tetap halus dan baik baik saja seperti semula. Dalam pelawatan ke sekolah, aku memilih tidak melalui jalan desa seperti yang biasa kutempuh sepulang sekolah. Nggak enaklah! Aku tak mau mengganggu rayapan pagi mereka, kerna ku pikir mereka sama seperti aku dan berbeda dengan rombongan tetangga di sekitar rumahku. Pemukim desa itu sangat pendiam, mungkin melebihi ke diamanku. Jadilah begitu sebagaimana tertulis. Aku berangkat menghindari desa dan pulang menyusuri desa selama hari-hari sekolahku. Ketika 'week-end' tiba aku selalu hepi dan berbunga harapan. Kerna mamaku akan datang melihat, mengontrol dan menyayangiku. Aku sukak! Mama akan menjemputku di setiap tutup minggu, dan berjalan pulang bersama menyusuri desa. Dan kami selalu berhenti di situ, buat bercengkerama tentang kasih-sayang ibu-anak. Mama biasa membawakanku minuman air yang dingin dan segar kesukaanku, disamping itu juga dia selalu membawakan bunga mawar mewangi kesukaanku. Ada satu tempat duduk batu bening tempat biasa kami duduk dan bertukar rindu sambil menikmati siraman kilap cahaya matahari pulang. Bayangan wajah mama tak pernah lepas dari kerinduanku, meski mama selalu hadir sekali sepekan.

"Desa ini demikian nyaman, Marta.." kata mama menghela udara. Aku tersenyum mengangguk bahagia.

"Iya mama, desa ini lebih tenang dari matahari terbenam. Lebih sejuk daripada fajar.." kataku merayu.

"Kau telah jatuh cinta padanya?"

"Hehemm.."

"Mama senang mendengarnya Marta. Kamu akan terbiasa..."

Lalu kami berdua terdiam membiarkan desa itu juga terdiam, bersama sore yang mulai mengikat tanah-tanahnya, pepohonan dan bunga.

" Oh iya Marta, apakah engkau masih memakai selimut putih yang ku berikan untuk pelindung  perjalanan sekolahmu?" Mama membuka ucap.

Aku seperti tersekat panjang untuk menjawabnya, hanya memandang jauh sepanjang desa damai yang mulai membetahkan.  Mata air hangat terasa melelehkan pipi pucatku yang dingin sementara bibir unguku bergerak mengatakan.

"Aku selalu merindukan, kita memakainya bersama-sama Mama..."

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun