"Sesungguhnya kami mencari lama, namun tak tau keberadaanmu, sayang.." Mama Prass  seperti membuka cerita duka. "Tapi, Tante.. Prass mengirimi saya mawar di ulang tahun saya kemarin..". Inka memotong tergagap. "Prasetyo..?". Wanita darah biru itu meyakinkan, yang dibalas anggukan Inka. Membuatnya lama membeku, menularkan bekunya kepada Inka. Lamat ibu sepuh itu bernafas beban lalu berucap. "Kala itu tiga tahun silam, Prasetyo sudah dipanggil ke langit, Nak..".  Giliran Inka yang terkunci, tubuhnya seakan ringan tak berbobot  bersender lemas. Seandainya, seandainya..
"Tak mengapa nak sayang, mama yakin Prass senang akhirnya nak Inka datang juga. Itu selalu harapannya sepanjang hayat" hiburnya bijak, sementara Inka hanya tenggelam kedalam pelukan nyaman sembari mengirim mata yang deras. Â
Hari mendung pagi seperti memaklumi, kedua wanita anggun beda generasi itu beriringan ke makam sang putera mahkota, Prasetyo. Inka bersikeras membawa bunga, namun ibu melarangnya kerna disana sudah dipenuhi bunga. Dan benar Inka hanya bisa memandang sendu, ketika ditemuinya tanah nisan Prasetyo penuh dikelilingi tumbuhan mawar berwarna merah-biru, persis yang dikirimkannya kemarin.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H