Saya melamun lagi kayak kemarin dan kemarinnya lagi. Memulai hari dengan melamun itu enggak enak. Pagi terasa petang, siang terasa malam, terbit jadi terbenam, segala terbolak-balik. Â Ini perihal pelik kekasih saya yang sudah beberapa tahun ini saya kasihi. Dia meminta kembali cintanya yang sudah diberikan kepada saya.
"Iya Bang, aku mau memintanya" pacar cantik memohon kerap disela-sela penundaan saya untuk 'buying time'. "Kamu serius? Untuk apa?". "Ada perlu, Bang" Begitu jawaban mengambang di saban pertemuan. Â "Aku minta waktu, Sai". "Iya Bang, jangan lama-lama". Ini komunikasi kami teraktual.Â
Kalo memang Sisai, pacar saya itu, mau udahan. It is oke. Namun ketika cinta mau di redraw, saya mesti membuka laci-laci lemari berhari-hari mencari. Â Melacak seperti polisi, yaitu mendapatkan bukti bukan opini. Saya harus mengingat kronologi kerna saya tidak pernah menulis diari.Â
Hanya dari kekuatan memori, saya bisa menemui segala bukti secara runut yang bisa ditarik mundur. Saya membaca semua berkas pribadi, dari cerpen, puisi hingga politik. Beruntung saya berakun di Kompasiana, meski tulisan saya kadang mentah dan ngawur, saya masih bisa memilah berkas rekam jejak cinta saya yang tertulis. Dengan mudah saya mengidentifikasi puisi-puisi cinta untuk Sisai, kekasih saya itu disana dan menemukan jejak cinta ketika dimulai. Â Demikian saya telah menemukan pintu masuk cinta. Â
"Gimana Bang, udah dapet?". Saya tidak merespon cuma menggeleng. "Gimana sih, Bang?" Sisai merengut, wajahnya sayu dan resah. Tampak ketergesaan di paras cantiknya, seperti ada yang memburunya. "Kamu berbalapan dengan waktu..?" Saya menimpali lembut. Sisai tidak bergerak, hanya matanya mendung.Â
Dan gerimis di udara mulai menyaring debu beranda kafe tempat kami bertemu. Saya memegang tangan halusnya yang membeku. "Aku akan segera kehabisan waktu, Bang.." lirih keluar dari bibir tipisnya. "Saya akan berusaha mati-matian .." balas saya berjanji. Sisai mengangguk lemah. "Jangan dikensel lagi ya, Bang.." Dia merajuk lalu berlari meninggalkan saya sendiri bersama meja kafe yang sunyi.
Setiba di rumah saya membuka berkas, dan memang pintu cinta sudah saya temukan dari kompasiana di pekan lalu, saya mencoba menerka cinta di dalamnya yang tidak saya ketahui, hanya ada rasa menyergap seperti melihat kenangan. Â Saya hanya berdiri di pintu masuk, menatap jauh ke dalam, bagai melihat sebuah dimensi ruangan yang ekspansif dan sensual. Tidak ada yang bisa diraih, ketika lengan saya meraba-raba, hanya bayangan yang berulang, yaitu bayangan cermin yang berisi bayangan cermin yang sama yang semakin mengecil menjadi noktah. Lalu saya menutup dan menandai pintunya.
Pagi kembali merekah, mempersilakan tanggung jawab menjalani hari, dan saya memikul beban yaitu harus membawa pulang cinta Sisai. Saya berkemas berniat menapak tilas tanah kelahiran Sisai, entah serta merta otak saya berpikir bayangan pintu 'heritage' menguak rumah kelahiran. Sehari semalam perjalanan saya tiba di desa asri yang dilumuri padang rumput.Â
Hari menjelang siang, jalan setapak dengan rumah kayu berjarak panjang,masih menyisakan udara harum kedalam nafas. Sejenak saya berhenti mendekati seorang pakde angon dan saya sok akrab duduk bersisian. "Kisanak bukan orang sini..?" Tanyanya terlihat bijak. "Bukan.." Balas saya sambil menawarkan roti bekal, namun dia menolak enggak doyan roti. "Mencari siapa gerangan?" dia bertanya. "Saya mencari cinta, pakde..". Pakde angon menatap saya, lalu membuang pandang ke rumput padang. "Kemarin dia merumput disini.Â
Nampaknya dia lapar.." perlahan  dia mengucap. "Apakah hari dia akan hadir, pakde?" tanya saya antusias. "Kurasa tidak, dia tampak lelah. Mungkin dia harus tidur..". "Dimana Pakde?". "Berhentilah di muka pintu yang kisanak pikirkan" Tanpa buang waktu saya berterima kasih lalu permisi untuk mencari pintu dimaksud. Jalan setapak masih sejuk meski diterpa terik, anginnya banyak memimpin langkah saya tiba di depan satu pintu. Ya, saya pasti. Inilah pintunya. Pintu dari sebuah rumah tua berkayu tangguh, urat uratnya tampak menguar namun tidak merenta.Â
Seraut wajah nyonya tua yang halus menyembul ramah saat saya mengetuk. Lalu membuka grendel dan menyilakan saya masuk. "Seperti ibu sudah menanti masa.." cetusnya. "Ya ibu, saya mencari cinta" Harap saya 'to the point". Paras ibu itu berubah masjgul, dan segera memimpin saya berjalan ke lorong belakang rumah. "Ini ruangannya, anak muda. Silakan..". "Terima kasih" Lalu saya menatap pintu persis sama dengan yang ditunjukkan oleh berkas puisi di akun kompasiana saya. Â Sebersit ragu saya terpaku. Â "Bukalah nak mud, kau akan menemukannya di dalam" Wanita tua itu memastikan lalu melepas saya sendirian. Â
Saya pun membuka pintunya, gelap menerpa dari dalam ruangnya, sementara bau merebak seperti aroma bayi. Saya meraba dan menekan pin lampu penerang, sembari melangkah masuk. Mata saya berkeliling mengamati, ruangannya tidak berisi banyak perkakas, hanya sebuah ranjang bayi, meja kecil dan perlengkapan bayi dari mulai botol dot, bedak, hingga popok. Beberapa mainan bunyi bunyian menggantung. Segala terlihat rapi dan resik meski nampak silam.Â
Tidak ada sama sekali keseraman yang semula terbayang di kepala saya. Ternyata kamar ini menawarkan rasa nyaman dan kebahagiaan di hati saya, sementara aroma minyak telon dan bedak wangi bagai mengalir tiada putusnya. Entah berapa jam saya masih terduduk dalam ruang ini, merasakan ketidaksetaraan tubuh saya dengan rasa cinta dalam kamar ini. Cinta itu seperti menghitung dengan dirinya sendiri, membesar dan melampaui kemampuan diri saya.
"Dia sudah ada sebelum Sisai lahir.." Nyonya tua itu tiba-tiba hadir memecah kata. Saya menatapnya dengan mata rabun. "Cinta..?" ucap saya. Dan perempuan sepuh itu mengangguk. Perempuan renta itu membelai kepala saya. "Pulanglah segera anakku kerna dia sedang sekarat.." "Sisai..???" saya melonjak dan baru menyadari. "Berlarilah secepat angin, kau harus mengembalikan cintanya. Dia memerlukannya untuk kematiannya.." Perempuan tua itu menutup katanya dengan linangan. Secepat kilat langit, saya melompat dan berlari dan terus berlari sambil meneriakkan "Sisai  tunggu! Saya sudah menemukan cintamu! Saya akan mengembalikannya!"
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H