Mohon tunggu...
Band
Band Mohon Tunggu... Supir - Let There Be Love

(PPTBG) Pensiunan Penyanyi The Bee Gees

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Lingkaran

12 November 2020   07:51 Diperbarui: 12 November 2020   07:58 109
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto oleh Mehmet Turgut Kirkgoz dari Pexels

Aku seperti menatap lingkaran cermin yang bayangannya bergerak gerak. Keindahannya menyampaikan kedalam visualisasi. Kadang aku menyerap itu saja, untuk membetahkan diriku menatapnya. 

Bahkan rimbunan hijau pakis dan lumut hijau yang merambat seakan mengenalkan keramahan yang supel. Mereka begitu dekat dengan lapisan cermin itu, dan selalu merasa nyaman berdiam di seputarnya. 

Sedang aku cuma sesekali saja memandanginya, saat aku terhenti di misteri, sementara lapisan tipis itu memeluk lalu menyelimuti misteriku kedalam misterinya. Sehingga aku tidak bisa melihat batasnya lagi, karena seperti terlempar kedalam. 

Ya, didalamnya ada kehidupan yang sangat jauh. Barangkali kedalamannya tak terperi, di dalamnya seperti tak ada tetangga lain yang menyertai, atau bisa jadi dia sendiri bertetangga dengan dunia lain. 

Tak taulah! Aku tak pernah melihat wajah dalamnya, hanya permukaannya saja yang kadang berpendar sinar atau kadang suram merona, terbaca seakan dia memiliki penutup kaca. 

Membayangkan dari atas permukaannya, kedalaman itu seperti tanpa lantai yang mengerikan. Jadi memang itu bagai lubang hitam dengan cermin di permukaan atasnya, lalu kita bisa menatap cukup atau lebih lama, terserah. Kerna memang wajah di bagian bawahnya hanya misteri yang tidak bersahabat untuk diriku.

Kadang aku berpikir ceria buat mengerjai seseorang. Bahwa mereka itu tinggal bagai di dalam kendi yang berisi jin botol, meski mereka kompak berkomentar sebagai lelucon yang tidak lucu. 

Namun bagiku itu sangat menghibur, paling tidak buat diriku sendiri.  Mungkin teman temanku mengerti, mungkin juga tidak. Yang aku maksudkan adalah penghuni dibawah sana itu hantu, begitu aku menyederhanakannya. 

Padahal dalam hati terdalamku, aku merasa menghianati misteri yang sesungguhnya yang ada didalam sana yang jelas mereka tidak mengenalnya. Sekaligus mengasihani diriku sendiri yang juga tidak mengenalnya dengan baik. 

Seperti kita mengenal alam, semakin kita mendekat semakin sedikit yang kita ketahui, dan semakin menyadari bahwa ilmu yang kita miliki begitu sedikit.

Dan aku masih berdiri memandang kebawah dimana lapisan tipis itu beriak lembut, sepintas tak terperhatikan. Ragu untuk masuk kedalam pikirannya bersama ke kedalaman di bawahnya. 

Meski ini fakta bahwa lapisan yang berbentuk lingkaran ini adalah hanya sebuah benda buatan manusia, tetapi tidak menghalangiku untuk mengindentikannya dengan alam. Yang berisi misteri hantu alam untuk paling tidak sedikit mencoba meraba pikiran Tuhan.

Aku melongokkan kepalaku kedalam, seperti menguak mimpi atau menggali kenangan saat air bah bertahun silam, air bandang yang pernah menutup lingkaran ini. 

Kala itu aku masih bisa melihat permukaan wajahnya sebelum terbenam, namun wajahmu tak pernah kulihat lagi sehabis tubuh mu terlihat timbul tenggelam. 

Aku menerus tersedak melihat kehilanganmu, mata airku bercampur baur dengan lapisan air bah yang menderas ketika aku berhasil berpegang di dahan besar.  Lalu ku diamkan saja sampai segala mereda surut, dan orang orang yang membeku satu persatu diidentifikasi. 

Namun kamu tak juga tertemukan, menghilang begitu saja bagai tertelan ke kedalaman yang sudah menyusut. Bertahun kamu tak pernah ditemukan padahal cahaya sudah muncul berganti dan tak lagi didatangi air bah. 

Mengiringi ketakutanku yang masih berjalan hingga kini, aku hanya berani menatap sekejap sekejap ke permukaannya. Seandainya kamu terjun ke dalamnya, kata kata tidak pernah memberi tanda dengan memantulkan cahaya pada lapisan permukaannya. Mungkinkah kamu masih didalam sana? Bersama misteri yang menyelimuti.

Sadar tak lama aku meninggalkan lingkaran itu, untuk nanti kembali lagi saat matahari menyelesaikan fajar dan orang orang berkerumun di sekitarnya. Menghempaskan timba keatas lapisannya, mengoyaknya dan menarik dalam kepenuhan lapisannya.  Mengambil bertubi tubi untuk membersihkan diri, mencuci kain dan mendidihkannya sebagian untuk menyeduh beras.

Sedang aku, seperti biasa menghampiri dengan was was, membawa kendi yang kosong dan memohon kepada mereka yang sudah terbiasa sehari hari, untuk menuangkannya kedalam kendi yang ku bawa hingga meluberkan lapisan permukaannya.  

Membuatku riang dan melangkah ringan meninggalkan orang orang penuang di pagi hari, yang memandang langkah menjauhku dengan pandangan iba yang terbiasa.

"Hei, Rina! Apakah engkau sudah melihatnya?" kadang mereka berucap kepadaku untuk menggoda. Aku tak menjawab, hanya mengangguk tertawa sambil  mendekap dan memandangi kendi yang tumpah ruah.

"Aku pikir bukankah kamu tinggal di dalam sini?" begitu setiap hari ku bisikkan kepada air di dalam kendi, setelah aku menjauh dari sumur itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun