Meski ini fakta bahwa lapisan yang berbentuk lingkaran ini adalah hanya sebuah benda buatan manusia, tetapi tidak menghalangiku untuk mengindentikannya dengan alam. Yang berisi misteri hantu alam untuk paling tidak sedikit mencoba meraba pikiran Tuhan.
Aku melongokkan kepalaku kedalam, seperti menguak mimpi atau menggali kenangan saat air bah bertahun silam, air bandang yang pernah menutup lingkaran ini.Â
Kala itu aku masih bisa melihat permukaan wajahnya sebelum terbenam, namun wajahmu tak pernah kulihat lagi sehabis tubuh mu terlihat timbul tenggelam.Â
Aku menerus tersedak melihat kehilanganmu, mata airku bercampur baur dengan lapisan air bah yang menderas ketika aku berhasil berpegang di dahan besar. Â Lalu ku diamkan saja sampai segala mereda surut, dan orang orang yang membeku satu persatu diidentifikasi.Â
Namun kamu tak juga tertemukan, menghilang begitu saja bagai tertelan ke kedalaman yang sudah menyusut. Bertahun kamu tak pernah ditemukan padahal cahaya sudah muncul berganti dan tak lagi didatangi air bah.Â
Mengiringi ketakutanku yang masih berjalan hingga kini, aku hanya berani menatap sekejap sekejap ke permukaannya. Seandainya kamu terjun ke dalamnya, kata kata tidak pernah memberi tanda dengan memantulkan cahaya pada lapisan permukaannya. Mungkinkah kamu masih didalam sana? Bersama misteri yang menyelimuti.
Sadar tak lama aku meninggalkan lingkaran itu, untuk nanti kembali lagi saat matahari menyelesaikan fajar dan orang orang berkerumun di sekitarnya. Menghempaskan timba keatas lapisannya, mengoyaknya dan menarik dalam kepenuhan lapisannya. Â Mengambil bertubi tubi untuk membersihkan diri, mencuci kain dan mendidihkannya sebagian untuk menyeduh beras.
Sedang aku, seperti biasa menghampiri dengan was was, membawa kendi yang kosong dan memohon kepada mereka yang sudah terbiasa sehari hari, untuk menuangkannya kedalam kendi yang ku bawa hingga meluberkan lapisan permukaannya. Â
Membuatku riang dan melangkah ringan meninggalkan orang orang penuang di pagi hari, yang memandang langkah menjauhku dengan pandangan iba yang terbiasa.
"Hei, Rina! Apakah engkau sudah melihatnya?" kadang mereka berucap kepadaku untuk menggoda. Aku tak menjawab, hanya mengangguk tertawa sambil  mendekap dan memandangi kendi yang tumpah ruah.
"Aku pikir bukankah kamu tinggal di dalam sini?" begitu setiap hari ku bisikkan kepada air di dalam kendi, setelah aku menjauh dari sumur itu.