Sejak kekasih terakhirnya bekhianat Luna menjadi kerap mendaki bukit biru, kata hatinya buat menyendiri, kerna perempuan indo ini tak hendak bernetijen bahkan berteman.
"Aku mau mencari sendiri.." bisik hati kalut ketika perdana menapak lereng bukit biru. "Barangkali aku selalu menyerahkan diriku kepada lelaki.." perih kalbunya sembari menatap rumah tradisionalnya di tanah landai kejauhan. Lalu Luna menapak semakin tinggi seperti biasanya yang dikerjakan setiap fajar mulai. Meski sudah hari kesembilan puluh dan pakem dengan hamparan tanah bukit biru ini, Luna masih saja mencari sendirinya tanpa lelah.Â
Mungkin hatinya begitu mendendam kepada banyak lelaki yang hadir hanya untuk kecantikan dan kemolekannya, sehingga Luna mau melepaskannya, melepas beban yang seperti telah membuat stigma kecantikan. Â Kecantikan indo Luna yang "grey" memang memesona, dia bagai dewi yang datang bukan dari timur melainkan dari belahan barat yang penuh dengan kontroversi keindahan.Â
Rambut pirang dengan dagu lancip dan mata biru yang bulat, selalu saja membuat para lelaki berbicara cinta  dan kemesraan. Tubuh putih saljunya yang semampai dengan gerak gemulai, adalah bak penari pengiring pengantin yang memukau para jejaka lajang untuk "fiesta" mimpi nirwana.
Dan Luna membenci kecantikannya, yang katanya seperti makanan yang indah setelah dicicipi akan selesai. Kecantikan akan berhenti saat dikejar, dan terlihat lagi ketika tak dikejar. Â Makanya Luna mencoba mencari sendirinya akan kecantikan yang memenuhi hidupnya. Dia mau melihat akhir kecantikan seperti apa layaknya dan itulah yang akan diberikannya kepada lelaki terkahir yang bisa melihat kecantikannya setelah kadaluarsa.
"Ini sudah hari kesembilan puluh satu, sayang?" kata mamanya yang bule asli. Luna pura pura budeg, sembari membereskan packing hariannya untuk ke bukit biru. Mama yang sedikit khawatir dengan gadis cantiknya mengelus rambut sang putri tersayangnya. "Tidakkah kamu mau seskali  berpikir untuk mengakhirinya sayang?" mama bertanya sedikit ciut sambil berharap reaksi baru.Â
Tapi Luna hanya bisu dan menggoyang rambut indahnya sebagai isyarat yang sama seperti kemarin kemarin. Mama hanya bisa bernapas panjang dan berdoa kepada yang diatas yang mahakuasa, untuk keselamatan princess tercinta.
"Mama janganlah kawatir, Luna akan baik baik.." Luna mencium pipi perempuan tua itu dan merasakan udara kasih yang seperti sudah lama tak pernah dihirupnya. "Ibu.." bisiknya ke telinga mama bule itu, sementara sang mama sedikit heran, tak pernah Luna memanggilnya ibu. Biasanya kan mama atau mamah saat manjah.Â
Lalu mereka berangkulan melepas satu hari pendakian lagi. "Jangan pulang terlalu petang, sayang!" peringat mama Luna, dan anak gadis itu senyum mengangguk, sambil berbalik menatap bukit biru dikejauhan.
Tiba disisir bukit tinggi, Luna merasakan sentuhan angin yang tidak biasa, udara terhisap lebih bersih dan Luna seperti berjalan dikelilingi udara. Dia senang bukan kepalang. Teringat baru saja bahwa udara yang dirasakan saat mencium harum paras mamanya.
"Apakah ini yang ku cari akhirnya?" Luna mendongak ke atas sambil merapikan rambut indahnya yang sedang di belai lembut angin. Lalu dengan boot  berharga jutaan, Luna memulai pendakiannya. Sepanjang pendakian bukit biru, Luna semakin dipenuhi keinginan yang tak pernah dirasakan sebelumnya.Â