Mohon tunggu...
Band
Band Mohon Tunggu... Supir - Let There Be Love

(PPTBG) Pensiunan Penyanyi The Bee Gees

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Catatan Akhir Kepergian

9 Agustus 2020   22:59 Diperbarui: 11 Agustus 2020   17:21 87
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar oleh Yerson Retamal dari Pixabay

Keduanya bertatapan layaknya paham akan sebuah destinasi akhir penderitaan. Dokter pun berlalu, menyisakan aku dan papa di ruang tunggu surgeri yang menjelma menjadi amat dingin. Papa, seperti layaknya, diam membeku, sedang aku, lagi lagi menumpahkan air mata yang terus menerus, membasahi seluruh pori pori wajahku.

Dan keniscayaan itu terjadi, Marya pergi meninggalkan kami dengan wajah cantiknya, sayup terdengar musik jazz lembut mengiringi, denting pianonya menyapa pesona Marya untuk berangkat. 

Papa tidak menangis namun mataku buram. Selamat jalan adikku, semua yang fana sudah terlewati, meski kamu terseok seok menjalankannya, ini akan meninggalkan duka sepanjang musim. 

Puisi-puisi muram akan mengisi waktu kakak kedepan, yang sudah hilang keindahannya terbawa pergi keelokan paras kamu sejatinya. Cepatlah tiba di surga karena kami sudah melihat tanda tandanya, supaya puisi puisi ini pula berhenti menangis.

Hari yang hitam, hari pemakaman. Semua bergerak perlahan, bahkan matahari, hujan gerimis juga begitu perlahan seperti berhati hati untuk menjatuhkan tetesannya agar tidak melipat gandakan kepedihan.Tanah yang memerah basah, segera membaringkan kamu Marya ketempat terakhir di bumi ini.

Iringan panjang pemakaman juga perlahan, seperti nafasku yang masih saja mendekat dengan nafas lalu kamu. Perlahan saja, nanti juga aku sampai meskipun kamu adikku Marya, sudah tiba terlebih mula.

Dan kamu tau dik, ketika kakak mesti melanjutkan kehidupan, papa tak pula sanggup menahan kepedihan. Wajah tampan kakunya sehari hari tampak menyerah, seperti menyiratkan ketuaannya tak berfaedah, menyesali tanpa terlihat. Sehingga papa pergi seperti tersembunyi, tanpa tanda menyusul adik pulang, menggugahku bahwa papa dan bungsu adalah berpasang. 

Membuatku kembali mengantar ke tanah, mendekatkan papa ke kamu lagi. Mataku membasah lagi, memburam dan menulis puisi puisi lembab, entah sampai bila. Barangkali nanti sampai kematian yang ketiga.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun