Mohon tunggu...
Band
Band Mohon Tunggu... Supir - Let There Be Love

(PPTBG) Pensiunan Penyanyi The Bee Gees

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Patah Hati

26 Mei 2020   14:10 Diperbarui: 26 Mei 2020   18:20 169
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Nama kamu Hesti dan saya enggak ingat kapan kamu datang, barangkali lebih dari setahun atau kurang. Namun semenjak kamu menjejakkan kaki ke dalam rumah kami, ada rasa lain yang saya rasakan. 

Mungkin simpati atau rasa pesona yang semula tidak  saya acuhkan diam diam merayap, datang menghampiri secara natural. Seperti panggilan masa silam tentang petualangan yang menyenangkan yang sudah terlipat hilang kedalam folder rutin kehidupan berkeluarga. 

Apakah saya mulai menyukai kamu? Kadang saya bertanya dalam diri. Mungkin? Ah! Apakah saya mengalami krisis sindrom pubertas lanjut?

Oh iya,  sejak hadirnya perempuan Hesti, saya sendiri menjadi sungkan untuk meminta opini istri saya soal Hesti. Kerna istri saya sendiri jarang membahasnya, mungkin buatnya biasa aja atau enggak perlu perlu amat, bahkan dia termasuk jarang berkomunkasi dengan Hesti. 

Istri saya yang manis lebih suka memanfaatkan waktu lebihnya dengan kerja rumah tangganya, dari pagi hingga petang. Setia kepada janji rumah, tangga dan suaminya.

Sedang saya, kadang sedikit salah tingkah sendiri setiap bertemu Hesti, apalagi ketika saya yang kerap mencari curi pandang ke raut wajahnya yang melankolik itu. Sehingga saya bisa tau sebegitu detil pesona seri parasnya. 

Dari bibir indahnya yang sedikit lebar, tulang pipinya yang menonjol berserasi dengan lancip dagunya, lagi kantung matanya yang indah bagai mata mengantuk yang semakin menjadikan sensasi muara sihir. Dengan rambut hitam yang lurus kemilau, menggerai ketika dia berbicara dengan hatinya yang selalu tampak riang. 

Dan terus terang jika begini terus menerus, saya membiarkan saja diri saya menjadi kesengsem dengan perempuan berparas cantik soda gembira ini. 

Selain ada saja pembicaraan yang dia lantunkan tanpa kekurangan ide, kelucuan Hesti yang memikat sungguh membuat saya terkadang tertawa namun tetap serius merindukannya.  Kejenakaannya yang absurd membuat Hesti salah satu favorit saya, dibandingkan dengan perempuan perempuan lain yang pernah hadir kedalam rumah kami.

Sayang hasrat saya yang begitu membuncah untuk lebih lanjut bercengkerama dengan Hesti, terkadang begitu minim, meski setiap hari Hesti hadir menyambangi ruang rumah kami.

Tetap saja waktu yang paling kerap kami berbincang, hanyalah di waktu malam, apalagi jika istri saya kebetulan sudah lelap dalam mimpinya, kami demikian bebas beraksi. 

Makanya begitu malam menjelang, saya sering pura pura tidur, memancing supaya istripun terperangkap untuk ikut berangkat tidur, tidak lain hasrat saya untuk bebas bercengkerama dengan si cantik Hesti sementara istri telah terpejam malam. 

Kerna memang saya sadari, adalah waktu yang dimiliki Hesti sangat terbatas dan enggak bisa diganggu gugat. Kalaulah sedikit terlambat waktu atau sang istri begitu lambat terlelap dalam peraduan, alamat, saya bisa gagal total untuk berjumpa Hesti.

Begitulah tanpa terasa, entah pula disadari istri saya atau tidak, namun hal ini sudah menjadi modus saya, pokoknya mengakali istri saya, bagaimanapun saya mesti bertemu dengan Hesti yang cantik saban malam.

Kerna semalam saja saya tak bertatap, serta merta hari menjadi layaknya hampa udara. Dan parahnya tanpa diketahui istri, saya menjadi 'addict' bahkan menjadi tak lelah memandang detak jarum jam di dinding, menantikan waktu buat berjumpa Hesti sesuai dengan perjanjian meski tak tertulis.

Modus yang sekarang ternyata ampuh adalah, ya itu tadi, pura pura molor lebih dulu ketika malam menjelang, berlagak mematikan televisi, sehingga malam hening, yang mau enggak mau menuntun istri saya ikut juga ngamar bersama saya. 

Dan saya biasanya dengan hati berdebar menunggu saja, sembari sesekali mengintip bola mata istri saya, buat memastikan apakah sudah menutup sempurna atau masih melek. 

Nah, begitu saya lihat istri tak bergerak sempurna berpeluk guling, mulailah saya berjingkat keruang tamu untuk berjumpa Hesti sang pujaan hati. 

Guna kamuflase, saya menyalakan televisi dengan volume yang rendah, sehingga jika sewaktu waktu istri terbangun, saya pun punya alasan bahwa sedang menonton tivi. Selanjutnya saya bebas menikmati kebersamaan saya dengan Hesti, bercanda ria membunuh rindu sambil tak henti menekuri pesona wajah dan mimiknya yang menawan.

Begitulah saban malam, kelakuan saya yang makin membenam kedalam hubungan yang "terlarang" bersama Hesti yang sudah menjelma menjadi kekasih gelap saya.

Cukuplah lama hubungan ini tanpa sepengetahuan istri, dan saya sendiri semakin merdeka terbiasa dengan modus mematikan atau sengaja tak menyalakan televisi di setiap malam turun. Sedangkan istri saya tampak 'fine fine' saja, kerna memang dia sendiri tampaknya kurang begitu suka menonton televisi. Katanya sih bosen, beritanya gitu gitu aja dan banyak hiburannya enggak mendidik.

Sehingga sampai di suatu sore yang cerah, sambil saya ngopi di beranda bersama istri, dia berbincang tentang suatu rencana, yang mungkin buatnya recehan tetapi buat saya ini begitu bernilai.

"Ayah, setelah mamah pikir pikir. Bagaimana kalo kita jual televisi kita, toh enggak pernah di tonton juga". Begitu katanya memecah sore yang tenang yang betapa rencana ini menjadi tragedi nasional buat saya.

"Tapi mah.. tapi mah.." belum sempet gagap saya berakhir, sang istri sudah memotong.

"Aahh.. udahlah, ayah kan juga enggak pernah nonton, kalo malem malah bobok duluan"timpal istri saya

"Tapi mah.. tapi mah.." sementara gagapku belum juga reda kembali dia memutus.

" Aaahh.. udahlah yah. Besok tivi mamah lego ajah. Buat beli konde palsu mamah ini lho, kan yang lama udah  mbrodol" sergahnya sambil sedikit mendelik, dan dia meninggalkan saya sendirian yang melongo  bakal kehilangan modus ampuh.

Dan betul saja keesokan sore sepulang kerja, saat saya masuk ruang santai rumah, televisi flet tigapuluh dua inci telah rahib. Membuat saya tertegun dan terduduk lemas. 

Kerna saya tiba tiba hanya terpikir tentang Hesti, bagaimana lagi cara kami bisa berpadu rindu tanpa modus televisi kalo begini. Dan hati saya mulai berantakan, meski berharap masih bisa bersua atau kepoin dia, meskipun ada rasa pesimis.

Namun inilah kenyataan yang terjadi pada satu minggu berikut, yang betul betul membuat  saya skak mat dan patah hati, ketika saya membaca kabar online, memberitakan bahwa "Tonight Show" sudah berhenti tayang. Dan saya 'speachless'  serta sama sekali tak bisa membendung galau, sementara saya hanya bisa berucap lirih "Selamat berpisah Hesti.."

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun