"Hm.. aku harus selalu menyanyi untuk menjaga perjalanan".Â
"Kenapa?".Â
"Aku mesti menjaganya supaya segala yang telah tiba didepan tidak menghancurkanku". Dia lalu menyulut baru rokoknya, menghembuskan asap putih pertamanya ke hitam malam.Â
"Kamu punya anak? Maaf..", saya bertanya penasaran.Â
"It's okay.. aku sudah melihat anak lelaki kecil terkaram di biru laut, saat ku kecil". tiba tiba dia melirih seperti kepada dirinya sendiri.
 "Jadi..?" saya mendekat duduknya dan mengusap jemari tangannya, seperti menyesal mengeluarkan tanya yang seperti saya tahu jawabnya yang bakal tragis. Sementara dia menghapuskan mata kacanya yang mulai mencair.Â
"Tak mengapa, dia lelaki kecil tampanku. Yang telah di peluk laut, ketika ayahnya begitu sibuk dengan wanita lain..dan aku tak bisa menolongnya". Seketika pula saya tak berani menatap matanya, kerna saya sadar akan hanya menatap sebuah luka yang paling kelam. "It's okay.. itu berlalu silam, dan aku sudah melihatnya di lebih silam lagi".
Dia tak berusaha melepas tangan saya diatas tangannya. "Maaf..saya tak bermaksud membuka luka.." saya hanya kelu berucap. Biduan perempuan itu hanya berdiam berusaha membekukan kenangan. Saya hanya mematung merelakan keheningan malam mengambil alih pembicaraan. Itu lebih baik, buat menarik napas kembali ke waktu adanya.Â
Lama kami terdiam, hanya mata pandang kami berusaha menembus kedalam malam yang menghitamkan pantai belakang kafe. Â Tak lama dia bangkit berdiri. "Abang suka laut?" biduan perempuan cantik itu seperti mengajak. Saya mengangguk dan ikut berdiri, meraih tangannya untuk bersama berjalan menembus gulita.Â
Beberapa saat kami lurus berjalan tanpa alas, sampai  kedua telapak kaki merasakan lembut dari pasir basah pantai. Lalu aku berhenti di batas, namun biduan itu tetap berjalan lurus meninggalkan saya sendiri.  Dan saya masih bisa mendengar  sayup suara panggung kafe di belakang saya. "As long as I can see the light"