Mohon tunggu...
Band
Band Mohon Tunggu... Supir - Let There Be Love

(PPTBG) Pensiunan Penyanyi The Bee Gees

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Menuju Satu Harga, Apakah LPG 3 kg Tetap "Ngglundung"?

20 Januari 2020   11:51 Diperbarui: 22 Januari 2020   07:59 619
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Rumor kenaikan gas bernama indah 'gas melon' sudah mulai ditiupkan. Seperti biasa, dalih pemerintah adalah untuk kenaikan atau 'penyesuaian' suatu barang kebutuhan pokok.

Memang LPG seberat 3 kilo ini harganya sudah tidak akan lagi sesejuk warna melon dalam waktu yang mungkin tidak lama lagi. Tinggal menunggu rapat terbatas kementrian keuangan dan menteri baru ESDM yang eks bos pupuk, Arifin Tasrif.

Konon harga LPG 3Kg ini diisukan dibanderol menjadi Rp 35 ribu atau Rp 11,667 per Kg, yang berarti ada kenaikan Rp 6,1667 per Kg, atau kenaikan 112 persen. Itu sesuai dengan penjelasan logis pemerintah bahwa subsidi harga LPG 3 Kg artinya tidak ada lagi.

Selanjutnya menurut menteri ESDM, subsidi akan dituangkan sebagai subsidi tertutup dengn identifikasi legal kepada yang berhak menerima subsidi guna menghindari kebocoran. Mungkin subsidi ini bisa berupa uang atau semacam BLT. 

Entah besaran dan mekanismenya bagaimana masih tanda tanya, apakah warga miskin akan dikonversikan dengan seberapa banyak jumlah maksimum tabung yang biasa dipakai perbulan, atau bagaimana. 

Yang jelas hal ini sulit berlaku bagi pedagang kecil yang cukup banyak menyedot gas tiga kilo ini, seperti tukang gorengan, tukang bakso dan tukang tukang kompor lainnya kecuali tukang balon gas.

Artinya, memang subsidi pengganti subsidi harga LPG ini, akan menyasar rumah tangga kurang mampu tanpa melihat profesi kepala rumah tangganya, apakah karyawan, buruh serabutan, pengangguran ataupun pedagang.

dokpri
dokpri
Konon skema subsidi LPG dengan cara tertutup ini, dengan menaikkan LPG 3 kilo setara dengan kemasan berat yang lain, diklaim akan bisa memangkas subsidi LPG eksisting sebesar 15 persen dari total subsidi Rp 50 triliun lebih.

Cita-cita gas melon di awalnya memang seperti itu, namun berjalan 'uncontrolled', sehingga orang kaya bisa bebas menjual dan membeli elpiji bersubsidi ini. Biasalah pengawasan agen oleh Pertamina dan data warga miskin yang valid selalu kisruh enggak jelas seperti benang kusut dan saling menyalahkan.

Meski pernah diuji coba subsidi nontunai dengan jatah tiga tabung, tapi gagal, karena tabung melon itu kan bergerak dan bisa ngglundung entah ke mana.

Dan kali ini setelah lima tahun pemerintahan Jokowi, subsidi LPG bertransformasi rencananya menjadi subsidi tunai, sehingga harga standar gas LPG menjadi pasti, tidak ada dua harga berbeda untuk barang yang sama.

Jadi sebenarnya sama aja, mau pakai subsidi pada harga LPG atau subsidinya dialihkan ke subsidi tunai, toh tetap-tetap saja segitu besaran subsidinya. Substansinya adalah subsidi harus dijalankan dengan pengawasan yang ketat dan tepat sasaran dengan diikuti perlakuan hukum yang tegas.

Kenaikan harga LPG 3Kg mudah dimengerti karena sebenarnya dia tidak naik, hanya mengikuti harga 'kakak-kakaknya' supaya sama satu harga. That's all.

Tapi yang bikin kesel itu, kenapa selama ini ada gas berjenis kelamin sama, tapi ada yang murah yang beredar di pasar sehingga menggoda hati untuk seterusnya menjadi idaman. Sehingga ketika harus balik kepada mantan, rasanya berat di kantong.

Dari sisi harga, gas propan butan ini dipercaya sudah mengikuti harga pasar sesuai formula revisi teranyar dari ESDM, menjadi 103,85 persen HIP + USD 50,11 per Metrik ton + Rp 1.879 per kilogram.

Meskipun based on HIP (Harga Index Pasar) minyak mentah menjadi utama, soal besar kecilnya subsidi, itu memang tak bisa dipungkiri, namun formula diatas dipercaya efisien.

Barangkali lebih dinamis ya, fleksibilitas persentasi HIP, dengan balance produk versus impor crude, ditambah value produksi dan pengolahan LPG dengan acuan internasional dan value struktur storage berikut distribusi lokal. Jadi selain ngurus pembagian subsidi, ESDM juga perlu lebih mengedukasi menyeluruh soal LPG ini.

Selain masalah laten bahwa 70% kebutuhan LPG kita impor karena gas alam Indonesia rata-rata berkomposisi lean gas, di mana kandungan rantai karbon C3 dan C4-nya sangat rendah yang merupakan komposisi utama dari LPG (liquefied petroleum gas).

Jadi masalah mendasarnya adalah kenapa kita pakai LPG, tidak pakai gas kota yang didistribusi dari sumber gas alam yang lebih aman karena ringan, bertekanan rendah dan lebih murah. Kendalanya adalah masalah klasik yaitu besarnya invest jaringan pipa dan eksplorasi, serta terminal LNG/CNG untuk regasifikasi. 

Jadi umumnya jaringan gas kota yang digunakan rumah tangga masih terbatas di daerah dekat dengan sumber gas atau kebanyakan di daerah remote.

Mungkin pemerintah lebih suka membangun jalan tol ketimbang infrastruktur gas rakyat, padahal gain yang lebih progresif diperoleh dari efisiensi energi di manapun di dunia nyata ini, sesuai hukum kekalan energi.

Memang subsidi LPG dikembalikan kearah tepat sasaran, tapi tetep aja subsidi. Enggak efisien dan enggak gaul kata dunia perenergian.

Hidup memang pilihan begitu pula terus menerus mengkonsumsi LPG dalam jumlah gaban. Bisa diketawain kita.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun