Kini hadir mentri milenial Nadiem menawarkan konsep merdeka belajar dengan mengganti UN dengan asesmen Kompetensi Minimum (KM) dan survei karakter.
Konon Kompetensi Minimum adalah kompetensi dasar yang tidak terikat oleh konten mata pelajaran yaitu hanya meliputi dua kognitif literasi dan numerasi.
Pengertian literasi itu bukan bahasa dan numerasi bukan matematika, Â ini merupakan analisis dan konsep dari suatu materi, whatever materinya. Ngerti nggak? Oke good!
Survei karakter adalah penilaian yang bertujuan untuk mengetahui karakter ekosistem sekolah.
Asesmen itu dijadualkan ditengah jenjang periode pengajaran, sehingga satuan pendidikan bisa melakukan evaluasi atas dasar hasil asesmen tersebut untuk setengah bagian periode pengajaran berikutnya.
Semenjak wacana hingga maklumat penghapusan UN yang akan berlaku dalam pengajaran musim 2021, muncul kegaduhan, tentu saja perihal pro dan kontra beserta argumennya masing.Â
Sampai Jusuf Kalla ikut berkomentar "Jangan menjadi generasi muda yang lembek" yang dijawab Nadiem "Enggak sama sekali (membuat siswa lembek) karena UN akan diganti dengan asesmen kompetensi di 2021. Malah lebih men-challenge sebenarnya".
Tak urung tokoh sekaliber Buya Syafii Maarif menegaskan bahwa "Harus hati-hati. Tidak segampang itu. Jangan serampangan ini bukan Gojek. Harus dikaji ulang secara mendalam dengan melibatkan pakar pendidikan yang mengerti"
Nadiem menjawab lagi bahwa UN tidak dihapus, yang dihapus adalah format mata pelajaran. Format asesmen kompetensi minimum mirip dengan soal yang diujikan pada Programme for International Student Assesment (PISA) yang terdiri dari literasi dan numerasi, kemudian ditambah dengan survei karakter.
Belum juga paham format PISA yang akan di terapkan, ada acuan lain yang mengemuka dari Nadiem yaitu TIMMS (Trends in International Mathematics and Science Study, yang merupakan penilaian internasional untuk pengetahuan matematika dan sains pada pendidikan level 4 dan 8 diseluruh dunia.
Sementara penghapusan/penggantian UN sudah bergulir, bukanlah menjadi soal lagi berdebat soal UN. Ada kerja besar yang menghadang, yaitu penggantian UN ternyata bukan semata membubarkan UN Â tetapi diganti dengan asesmen seperti yang disebut mas menteri di atas.Â
Logikanya jika sistem ujian akan di format serupa PISA, maka format kurikulum akan berubah secara radikal mengikuti kompetensi dari tiga pelajaran  literasi, matematika dan sains dengan porsi dominan. Dan sesuai dengan grade kompetensi yang ditentukan mas menteri yaitu kompetensi minimumnya, yang mungkin realistis sesuai dengan peringkat PISA kita yang dibawah 6 terbawah dari 79 negara.
Jadi selain mengganti kurikulum, juga memulainya dari grade yang rendah (minimum). Â Mengganti dengan kurikulum PISA (sebut saja begitu), tentu akan merubah kualitas, struktur dan sebaran guru mata pelajaran yang sudah ada.Â
Infrastruktur metode pengajaran harus berubah total dari semula formula atau hafalan kognitif menjadi penalaran seperti yang sudah diinisiasi pada UNBK dengan nama HOTS (Higher Order Thinking Skills), walaupun ini shortcut yang aneh, karena belum diterapkan sedikitpun pada metode belajar mengajarnya.
Jadi selain memberangus pelajaran pelajaran yang mungkin hanya sebagai filler, lompatan metoda dan perangkat infrastrukturnya harus mengarah ke level orde tinggi, yaitu analisis, evaluasi bahkan sampai creating. Â
Memang kalo dipikir pikir lagi, utak atik system pendidikan dasar dan menengah ini bukan soal UN, karena ujian itu ada dimana mana dan disebarang waktu, bukan juga soal kompetensi minimum dan survei karakter, apapun sistemnya semua sangat bergantung kepada orangnya.Â
Apakah nanti dengan asesmen baru akan merubah wajah pendidikan kita lebih maju? Terus terang agakskeptis, mengingat perjalanan pendidikan kita yang bertahun kerap berganti system enggak pernah naik kelas. Selama tiada revolusi mental pendidikan, kelak system apa aja, hanya menjadi perangkat dibibir saja.
Selayaknya Nadiem meniru mentri Erick, berbenah ketitik riel dan cerdik. Tadinya aku berharap sebagai tokoh milenial rintisan yang cadas, harusnya membuat system digital untuk kontrol perangkat, infrastruktur, dan semua stake holder dari belajar mengajar.Â
Sederhananya, misal aku sebagai orang tua dari seorang anak SMA, bermimpi, bisa memiliki aplikasi plat merah untuk mengetahui banyak hal tentang, dengan sekali klik, bisa tau guru yang mengajar siapa, ulangan dan hasilnya berapa, gurunya ngajar apa enggak, siswanya belajar apa cuma nongkrong nongkrong gak ada pelajaran, field trip atau piknik, diknas ngontrol enggak, dan lain lain.Â
Sehingga semua stake holder satuan pendidikan dan networknya ke diknas dan pusat, bisa diakses oleh semua, Â lalu bisa segera dilakukan evaluasi atau dilakukan koreksi bahkan direformasi.
Jadi Mas Nadiem lebih baik menciptakan misalnya EE, Electronic Education, yang memuat segala data yang bisa diakses oleh semua stake holder untuk bisa mengontrol orang kerja bener apa enggak gitu.Â
Ketimbang utak atik system UN, mungkin juga nanti kurikulum, yang tak lebih pengulangan dari pendahulunya, hanya berkesan milenial saja, lebih baik dengan EE ini, lebih riel guna membereskan manajemen sekolahan, kualitas guru dan kualitas eksekutif pendidikan pusat- daerah. Â
Tapi terserah, Mas Nadiem kan Mentrinya, cuma kayaknya aku mesti siap-siap lagi deh, buat ngajarin anak saya, dengan menggunakan metode atau kurikulum yang bakal berubah. Capedeh! Â Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H