Mohon tunggu...
Band
Band Mohon Tunggu... Supir - Let There Be Love

(PPTBG) Pensiunan Penyanyi The Bee Gees

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Ruang Debi

27 Oktober 2019   23:29 Diperbarui: 27 Oktober 2019   23:31 41
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Jalan itu musnah, kakak" Debi berteriak kepadaku. Aku terkesima, memang jalan di muka langkah kami seperti tiba tiba lenyap. Ruang terbuka di depan tubuh kami hanya menjadi belukar hijau yang bau daunnya menyengat segar. "Kemarin ada, kok?" jawabku menengarai keheranan. Kupandang Debi menghampiri semak hijau terang, menyentuh dengan telapak tangannya. "Ada embun  tebal yang terlapis, kakak" bisiknya halus. Aku tak menyahut hanya memandang daun daun yang basah berkilat.

Enggak sekali ini saja Debi kehilangan. Tujuh hari kemarin dia kehilangan sinar sebelum  senja jatuh pertama. Cahaya mentari menyurut di sudut taman duduknya. Dia sedang membaca kisah ketika itu, sementara aku bekerja dimuka jendela lebar terbuka menujunya. Lampu ruang kerjaku taklah memijar, kerna sinar surya masih cukup cemerlang menyeruak. Dan Debi berteriak. "Cahaya itu musnah, kakak" keluh bibirnya kencang. Aku menghambur loncat daun jendela mencarinya didalam buram. Meraba lalu menariknya keluar dari warna senja yang terlalu prematur. "Ayok, Debi masuk ke rumah!" aku menyeret nonik cantik yang berwajah keheranan ini bergegas langkah. Lalu tiba tiba hujan rintik tiba, membasuh mendadak senja tersebut, ke warna cahaya mendung. "Lihat cahayanya  datang kembali, basah berkilat" keluhnya lembut. Debi menghentikan gerak kaki jenjangnya, menebarkan kedua lengannya seakan membelai hujan. Dan aku mendiamkannya saja.

Yang terpaling mengesan di sebelumnya, adalah Debi yang kehilangan alur anak sungai di taman di bujur jalan persegi pekarangan. Debi kerap merendam jemari kakinya dipinggiran brook, kali kecil, bening dingin. Sembari menghirup semerbak kuntum yang dipetiknya. Debi kerap menikmati momen ini di sekelarnya fajar. "Kak, kemanakah alir beningnya. Dia menghilang" begitu teriak Debi dari balik taman pakis sisi parit. Aku yang sedang membaca koran yang sudah langka, kemerungsung berlari kearah suara Debi. "Cepat tarik kaki kamu Deb!" aku meraih kedua kakinya untuk beringsut dari ceruk yang memang  garing. Tanpa melihat upstream dan downstre airnya, aku memeluk tubuh Debi menghindar pasir kasar yang mulai menampak didasar , takut mengasari telapak putih kakinya. Berjingkat pada akhirnya Debi menapak selasar rumah. "Kakiku kaku kakak" lirihnya, kupegang pergelangan dan mengangkatnya perlahan tersa beku, telapak kakinya kuyup basah air yang muncul menggenang lantai selasar. "Duduklah, Deb", segra kuraih handuk mengusapnya kering. Kusentuh air di celah lantai terasa dingin bening seperti air brook, parit kecil Debi.

Keesokan pagi aku tak melihat Debi dan aku merasa lonely, seperti tidak sanggup mengenang masa silam. Jalan setapak taman, ruang duduk cahaya alam dan lintasan air bening parit dimana Debi biasa bercengkerama masih tergeletak begitu saja. Aku begitu segera kehilangan Debi hari ini entah kemana. Namun kurasa lama seperti lompatan kuantum, meski baru sepersekian sekon melepas pikiran adegan Debi. Kemana dia gerangan? Aku menelusuri sekeliling rumput hijau taman yang basah seperti mencari tiada, selain sisa embun tebal yang tak hendak beranjak dari semua yang disentuhnya.

Akupun melangkah tak beraturan seperti orang mabuk menyusur yang pernah rasa membawa. Yang seterusnya kuingat tajam kata kata Debi.

"Pergilah ketempat yang lebih kuat dari matahari, kerna matahari pada akhirnya akan terbakar dan mati. Meskipun itu hanyalah domain kecil, namun mengisyaratkan lingkaran tanpa relief, suatu peristirahatan terakhir, tanpa akhir. Menunggu seorang sahabat tunggal yaitu harapan"

Kepala ku pusing adanya tanda, bahwa aku sudah tiba ditanah yang benar, dibawah satu pohon rindang yang tak pernah kering rimbun daunnya. Mendudukkanku dengan mata berembun, menatap kembali batu yang tak pernah jelas berpahat aksara. 

"Debi , istri tercinta. Wafat duapuluh tiga tahun lalu"

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun