Dan itu berjalan bertahun dengan Purnama, perempuan idaman yang mengendap kedalam otak kananku, sementara di alam nyata tak pernah terjadi apa apa. Mungkin dia inget pun engga, apalagi ngerasa.Â
Ah, Purnama. Tapi diriku tetap yakin bahwa, kamu merasakan hal yang sama, kerna hanya keteguhan itulah satu satunya yang kumiliki untuk bertahan untuk menghindari hatiku yang bisa retak atau patah.
Akhirnya pun aku bakal sudah memperkirakan, bahwa Purnama berpacaran dengan lelaki aktivis kampus, pandai orasi dan berkarakter kuat. Sedang aku, untungnya engga down mengetahui hal ini, karena aku telah menyimpan rapat rapat hubungan cintaku dengan Purnama di dalam otakku yang terujung, yang hanya bisa kukenang sendiri kapan saja kumau atau kapan saja kubutuhkan.Â
Mau apalagi, itulah kenangan indah Purnama, cinta pertamaku, satu gores cinta yang membekas dalam diriku yang memang soft atau lembek.
Tapi paling tidak didalam diriku yang pengalah ini, aku berhak memiliki fiksi indah yang tidak kalah mempesona dengan kisah cinta nyata milik temans. Tidak ada yang berbeda, toh kisah nyata suatu percintaanyang kelak menjadi silam juga hanya akan menjadi suatu fiksi.Â
Bahkan kuyakini, kisah cintaku dengan Purnama jauh lebih immortal, lebih abadi, karena tidak terganggu oleh ketidakcocokan atau pertengkaran atau hal hal bodoh lainnya. Kerna begitu awal, murni dan genuine, tidak dikotori oleh remeh temeh duniawi.
***
Di fajar kemarin, pada usia ketuaanku setelah pensiun dari kerja kantoran yang tak pernah  menjabat  sesuatupun kecuali staf sepanjang karir. Aku mendapat  whatsapp snapshot. "Telah berpulang Purnama, angkatan sekian, jurusan sekian" Â
Aku terhenyak, berpuluh tahun tak pernah jumpa. Membayangkan seperti apa paras cantiknya sekarang? Aku tak bisa menerka wajah di kesepuhannya.
Kembali kuambil kenangan silam di ujung benakku, besukur bahwa aku mengenalmu hanya dan hanya di kemudaan paras eksotik mu dan tak pernah akan pernah kehilanganmu rautmu yang asli.
"Selamat jalan kekasih"