Mohon tunggu...
Band
Band Mohon Tunggu... Supir - Let There Be Love

(PPTBG) Pensiunan Penyanyi The Bee Gees

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Membunuh Jakarta

31 Agustus 2019   22:31 Diperbarui: 31 Agustus 2019   22:52 64
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dul masih berkutat dengan mesin keras metromininya. Keringatnya menderas, memeras terampil tangannya yang besar berbuku buku. Kotak mesin metro oranye itu emang lebih banyak ngadat daripada menggelinding, sementara bentuknya terlalu dominan dalam las lasan besi mentah menempel di mana mana.

Dul mengusap keringat  di jidatnya, menarik panjang udara seakan melepas himpitan tanpa tara. Duduk selonjor kelelahan, dia bersandar sambil membelai pantat metromininya mengasihi bak bini yang setia.  Dul merenung nostalgila metromini.

Di jaman lalu memang gila, metromini berkejaran sarat muatan. Jaman keemasan yang menggentarkan setiap macam angkutan. Kami lah raja pertama dan kalian dibelakang, begitu pongah sang metromin. Namun matahari pasti tenggelam untuk membuka pagi yang baru.

Metromini yang dulu sublim sekarang tertatih tatih hanya tersisa di hitungan jari, lagi menyisi di paling pelosok berisi penumpang penumpang yang nampak ganjil, kerap teronggok sepi gelinding.

Kehancuran itu memang termomok sejak kehadiran moda modern terkoneksi dengan lintasannya yang ekslusif, dialah bus transjakarta. Membuat kelompok metromini melongo dan partai oranyenya berduyun masuk museum menyakitkan.

Palu godam itu semakin menghujam, ketika rintisan bintang naik (star up) melambung membentuk unicorn seperti pasukan para, pasukan online berban dua dan empat  masif merebut jengkal jengkal aspal. Membikin kuburan masal bagi metromini.

Inilah Jakarta bang Dul! Heritagenya seperti menertawakannya. Menggugah lamunannya yang mulai menjurus melow. Kemana lagi mencari rejeki meski banyak jurus tersedia di banyak ketiak Jakarta.

Dari asongan sampe nyalo pernah dilakoni bang Dul, Jakarta ibukota sebagai jangkar kota lain, selalu moncer dengan lapangan informal. Walaupun tiarap namun dapur tetap ngebul.

Dul mesem sendiri, menyundut batang kreteknya lalu larut dalam hisap dan hembusan kenikmatan asapnya. Dia enggak nyangka sejauh ini sampe di setengah abad usia, tanpa terasa bisa bertahan tanpa merasa survive. Dul sudah terlazim. 

Metromini akan bangkrut? Apa yang perlu dia takutkan? Tak ada! Dul terbiasa dengan Jakarta yang secara naluriah memberinya rejeki. Dengan rentang lebar, kaya dan miskin, elit dan kumuh, mall dan warung, semuanya siap memanjakan asal mau usaha.  Selama Jakarta ibukota, nasib takkan bisa membunuhnya. Bang Dul terkekeh tanpa suara. 

Namun enggak lama, wajahnya yang asimetris, mendadak mendung, rahangnya mengunci artinya benci. Setelah geng sopir nadir debat kusir anasir mutakhir. Ibukota pindah. Orang nomor satu negri telah memutuskan ibukota dipindah ke Kalimantan Timur.  Urgensi, kepadatan, kemacetan, polusi, sumber air dan kesetaraan penduduk, menjadi beban Jakarta.

Kalo begini cerita akan lain, Dul berpikir seakan sarjana. Di terawang lorong masa depannya dia melihat takdir. Masa depan memang tidak pernah ngomong, dia tidak peduli kemenangan atau kekalahan, masa depan hanya memiliki tanggung jawab untuk melaksanakan perintah takdir. Inikah takdir Jakarta?

Kadang tidak masuk diotak nya, Jakarta saat ini berada di inklinasi naik dalam hal mass transfer mengatasi kemacetan dan polusi. Reklamasi menuju sentra bisnis terpisah bebas. Memacu power listrik maksimal mandiri dan interkoneksi dengan sumber  pembangkit timur.  Pivot Bandara internasional terminal 3 sebagai pusat gerbang eksekutif, turisme dan pendidikan. MRT dan LRT dan seterusnya. Menjadi seakan belaka sia sia.

Jakarta sedang survive , die hard. Tiba tiba di dipindah. Tanpa ibukota, Jakarta bukan apa apa. Menggeser Jakarta ibu, sama saja memadamkan cita cita dan harapan. Jakarta bukan kota mati atau diam yang perlu segera di bunuh untuk di resureksi di tanah lain.

Tempat bergantung orang orang mencari harapan betapapun redup terbawah menjadi mimpi atau bukan.

 Inilah kisah Heike Monogatari,  perihal hukum ketidakkekalan, kemakmuran pasti akan menurun, yang penuh mau tak mau akan kosong.

Dul menahan ambang basah matanya, dia merasa tua seperti ibukotanya.

Sic Transit Gloria Jakarta! Demikianlah melewati kemuliaan Jakarta!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun