Kalo begini cerita akan lain, Dul berpikir seakan sarjana. Di terawang lorong masa depannya dia melihat takdir. Masa depan memang tidak pernah ngomong, dia tidak peduli kemenangan atau kekalahan, masa depan hanya memiliki tanggung jawab untuk melaksanakan perintah takdir. Inikah takdir Jakarta?
Kadang tidak masuk diotak nya, Jakarta saat ini berada di inklinasi naik dalam hal mass transfer mengatasi kemacetan dan polusi. Reklamasi menuju sentra bisnis terpisah bebas. Memacu power listrik maksimal mandiri dan interkoneksi dengan sumber  pembangkit timur.  Pivot Bandara internasional terminal 3 sebagai pusat gerbang eksekutif, turisme dan pendidikan. MRT dan LRT dan seterusnya. Menjadi seakan belaka sia sia.
Jakarta sedang survive , die hard. Tiba tiba di dipindah. Tanpa ibukota, Jakarta bukan apa apa. Menggeser Jakarta ibu, sama saja memadamkan cita cita dan harapan. Jakarta bukan kota mati atau diam yang perlu segera di bunuh untuk di resureksi di tanah lain.
Tempat bergantung orang orang mencari harapan betapapun redup terbawah menjadi mimpi atau bukan.
 Inilah kisah Heike Monogatari,  perihal hukum ketidakkekalan, kemakmuran pasti akan menurun, yang penuh mau tak mau akan kosong.
Dul menahan ambang basah matanya, dia merasa tua seperti ibukotanya.
Sic Transit Gloria Jakarta! Demikianlah melewati kemuliaan Jakarta!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H