"Kapan abang pernah menyongsongku..?" kutipan di bawahnya.
Ya ampyun.. mataku menyipit memandangi capture parasnya yang mempesona, meskipun rambutnya yang hitam telah di bleach warna ke londo londoan. Tapi bodo amat, aku sukak juga dan lagi doi punya rambut malah keren ini.
Aku tak segra menyeret aksara kibor hangpon ku, masih salfok pada kalimat ketimbang picturenya. Ya, kapan aku pernah mau menyongsongnya?
Kaptifnya menghambur masuk hingga ke ceruk dadaku, bahwa aku baru menyadari selama ini tak pernah sekali menyandingi advanture trip nya, atau mencobanya bahkan memikirkannya. Â
Meski aku kurang demen begitu begituan, tapi mestinya aku apa salahnya mencoba dunianya, dunia Inka, dunia hutan  dan alam terbuka yang kurasa begitu dicintainya. Â
Tiba tiba ku bersalah, aku enggak pernah ada dikehidupan yang dicintainya, padahal aku mencintainya. Oh, Inka manis, maafkan abang. Lalu aku mematung, kelu tak sanggup untuk menyambut kata kata sarat penantiannya. Â
Dan aku berjanji untuk selekasnya mengikuti petualangan berikutnya, yang kutau pasti terbit tak lama setelah kepulangan nya dari bajo.
3.
GA kosong tiga belas mendarat tepat waktu seperti teregister dielectronic board kedatangan direk dari tanah bajo. Terus terang baru sekali ini aku memapak  kekasih hati Inka.Â
Diriku yang biasanya datar entah kenapa kali ini gedebur gedebur melebihi getar kecepatan suara mesin rotary  jet aircraft.  Jam mendekati angka duapuluh satu, terminal ekstra dingin bertambah frigid dengan gerimis malam yang menebar disekujur bangunan putih gahar bandara.Â
Kurapatkan trucker jacket indigo yang kupakai, guna membendung kabut ac yang bersikeras menembus kulitku. Menunggu saja, buat seraut paras yang mulai menampakkan  garis eksotiknya.Â