Namun lagi lagi lidahku kelu, sehingga jangankan suara, udara nafaskupun tidak terasa hembusnya.
Sedikit berkeringat dimalam yang sejuk, aku berjalan shortcut, melalui jalan kecil kearah rumahku. Sekonyong hati menarik ingin segera menemui istriku yang tersendiri menanti dirumah, karena hanya kami berdua yang tersisa setelah anak kami memiliki kehidupannya sendiri.
Entah untuk menebus religiusitas kerna setahuku, istriku jauh melampauiku. Sangat ingin aku mengakui bahwa seiring  berjalannya waktu, rasioku memudar sementara aliran emosional malah menderas.
Aku akan berjajnji kepada istriku, untuk tidak marah marah dan akan menjatah perasaan emosi kerna ketidak mampuan mata duniawiku melihat kebenaran yang lebih besar.
Tiba dimuka pintu kayu rumah, istriku menjelang dengan senyumnya dan menyapa.
"Kamu sudah melihat tiketnya sayang?"
Aku mengangguk.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H