Mohon tunggu...
Band
Band Mohon Tunggu... Supir - Let There Be Love

(PPTBG) Pensiunan Penyanyi The Bee Gees

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Bapak Pulang

21 Mei 2019   13:47 Diperbarui: 21 Mei 2019   14:01 166
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Bapak pergi buk?"

Ibu hanya merunduk tak menyaut. Disatu pagi, diusiaku menyambut genap enam. Dia hanya mendekatiku dengan paras duka, namun aku melihat misteri. Ibu cuma mendekapku dengan seribu tanda tanya dikepalaku.

"Bapak tak pulang?" aku melirih dipeluknya.

Ibu hanya mengusap jidatku.

"Lama, buk?"

Ibu mengangguk.

Sejak itu aku bersiap menjadi anak ibu, menepis harap kembali menjadi anak bapak dikeseharian. Dan aku mulai tak suka bercermin seperti biasa. Karena mukaku mirip bapak dan aku rasa sepi jika menatap mukaku dicermin. Akupun menurunkan cermin di kamar tidurku.

Ibu mulai membuat kueh untuk nafkah, aku membantunya dengan diam mengendors ketoko atau ke warung yang minat. Tidak ada lagi mobil atau jajan, pakaian bagus ataupun sepatu atlet, tidak pernah lagi. Kami menghitung  hasil rupiah kecil, tak pernah melihat lembar limapuluh bahkan seratus, untuk menjelmakan beras dan sayur sama setiap hari. Membikin perutku meringis tapi kelamaan tak lagi teriris. Ibu semakin kurus dan aku nampak dirusuk, tapi wajah ku menjadi kuat menyimpan harapan yang ditransfer ibu setiap hari.

Benar saja, menahun bapak tak lagi pulang. Kini aku kuliah di ITB (Institut Teknologi Banten), berarti sudah menelan sampai tahun ke tigabelas bapak diluar rumah.  Namun sekarang ibu sudah memegang usaha katering yang bisa diandalkan.

Kalau kureview sepuluh tahun kami berdua kenyang digebuki kemiskinan, rumah ternyata sudah di ajb (akte jual beli) dan mobil sudah berganti nama. Hanya uang rahasia ibu yang sedikit bisa mengontrak gubuk dan usaha minim kue dan gorengan. Barangkali kami mirip cerita om Tjip dimasa susah.

Namun aku tidak kacang lupa kulit, aku selalu melihat kebawah jarang keatas, karena selain untuk mawas diri, aku sering pusing jika mendongak.

Meski sebentar lagi aku wisuda sebagai sarjana teknik ITB, aku masih kerap mencuri pandang paras ibu, yang kurekam dihati. Setiap tahun garis wajahnya tetap tak rubah, meski purwa usianya tampak malih. Garis wajah yang sama sejak langkah musnah bapak, dipendamnya dilubuk jantung yang merupa garisan wajah tanpa pamrih. Ibu tak sekali jua bertutur soal kehilangan bapak sedangkan aku secuilpun tak kepingin tau. Seperti trauma cermin yang sejak kanak sudah kusembunyikan rapat. Ibu tau, aku tau, tapi kami tak lekang membisukannya. Karena apa? Karena bukan semata bapak yang pergi tapi cinta yang hilang, sebelah kasih sayang yang tidak lembut tapi tegap dari bapak.

Ya, sudahlah. Hari ini aku wisuda dengan kemegahan digedung mega sound kampus, khidmad dan berkelas. Dan ibu mendekapku, serasa dulu ketika kepergian bapak. Kali ini ibu menangis, karena aku ngerti dilevel kedewasaan ku ini, aku menjelma jadi bapak, ya fisiknya, ya atitutnya.

"Kamu bapak nak.." kata ibu berlinang.

Kali ini gentian aku yang mengelus kening ibu. Aku tau aku akan menjelma bapak, memelihara ibu yang mulai sepuh dan beruban. Berusaha melengkapi hatinya juga hatiku berperan sebagai bapak yang hilang.

Kami pun pulang serampung seremoni, menyusuri jalan pulang kerumah dahulu, disepanjang jalan aku meragu. Kayaknya kenal jalan menuju rumah duapuluh tahun lalu. Dan aku ngerti surprise ini, dari usahanya, ibu berhasil merebound kembali rumah kenangan kami yang baheula.

"Makasih ya buk" aku mendekap ibuku di taksi onlen.

"Ibu mau pulang kerumah milik kita dulu, Ripan" tutur ibuku. Aku mengangguk kagum.

Tak lama taksi privat merapat masuk gerbang perumahan kangen kami dan tiba dijalur jalan rumah kenangan itu.

"Wah ada ambulans, tuan. Disini saja yeh" sang supir menginjak pedal kekang berhenti.

"Iya pak" jawabku menatap kaca depan penuh kesima, begitu pula ibu.

"Ambulans..?" aku dan ibu berpandangan, melihat kendaraan itu persis dimuka halaman rumah rindu kami.

Aku menuntun ibu melangkah pintu taksi dan menghampiri petugas mobil serba putih itu dengan jantung berdegup.

"Ibu Krisna?" sang petugas bertanya  dan ibu mengangguk pelan.

"Mohon maaf, kami mengantar jenasah bapak Krisna" 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun