Meski sebentar lagi aku wisuda sebagai sarjana teknik ITB, aku masih kerap mencuri pandang paras ibu, yang kurekam dihati. Setiap tahun garis wajahnya tetap tak rubah, meski purwa usianya tampak malih. Garis wajah yang sama sejak langkah musnah bapak, dipendamnya dilubuk jantung yang merupa garisan wajah tanpa pamrih. Ibu tak sekali jua bertutur soal kehilangan bapak sedangkan aku secuilpun tak kepingin tau. Seperti trauma cermin yang sejak kanak sudah kusembunyikan rapat. Ibu tau, aku tau, tapi kami tak lekang membisukannya. Karena apa? Karena bukan semata bapak yang pergi tapi cinta yang hilang, sebelah kasih sayang yang tidak lembut tapi tegap dari bapak.
Ya, sudahlah. Hari ini aku wisuda dengan kemegahan digedung mega sound kampus, khidmad dan berkelas. Dan ibu mendekapku, serasa dulu ketika kepergian bapak. Kali ini ibu menangis, karena aku ngerti dilevel kedewasaan ku ini, aku menjelma jadi bapak, ya fisiknya, ya atitutnya.
"Kamu bapak nak.." kata ibu berlinang.
Kali ini gentian aku yang mengelus kening ibu. Aku tau aku akan menjelma bapak, memelihara ibu yang mulai sepuh dan beruban. Berusaha melengkapi hatinya juga hatiku berperan sebagai bapak yang hilang.
Kami pun pulang serampung seremoni, menyusuri jalan pulang kerumah dahulu, disepanjang jalan aku meragu. Kayaknya kenal jalan menuju rumah duapuluh tahun lalu. Dan aku ngerti surprise ini, dari usahanya, ibu berhasil merebound kembali rumah kenangan kami yang baheula.
"Makasih ya buk" aku mendekap ibuku di taksi onlen.
"Ibu mau pulang kerumah milik kita dulu, Ripan" tutur ibuku. Aku mengangguk kagum.
Tak lama taksi privat merapat masuk gerbang perumahan kangen kami dan tiba dijalur jalan rumah kenangan itu.
"Wah ada ambulans, tuan. Disini saja yeh" sang supir menginjak pedal kekang berhenti.
"Iya pak" jawabku menatap kaca depan penuh kesima, begitu pula ibu.
"Ambulans..?" aku dan ibu berpandangan, melihat kendaraan itu persis dimuka halaman rumah rindu kami.