Mohon tunggu...
Band
Band Mohon Tunggu... Supir - Let There Be Love

(PPTBG) Pensiunan Penyanyi The Bee Gees

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Gudeg Lasmi

6 Mei 2019   23:49 Diperbarui: 7 Mei 2019   00:35 76
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pasar Patuk masih sepi buta. Nenek Lasmi sudah menyiangi semua masakan matang penunjang. Masih teraba panasnya asli, begitu juga harum  rempah yang bercampur sisa asap putih yang mengambang di hampir setiap panci masakannya. Ada tahu, telur, sambal goreng krecek, ayam gurih dan tentu saja gudeg sebagai saji utama.

Mulai jam empat pagi Nek Lasmi tak pernah urun sekali jua di warung gudegnya. Berdinding gedeg selebar cuma dua kali dua samadengan empat, pas dimuka pasar patuk, salah satu pasar tradisional yang sudah bergenerasi delapan dekade, mungkin.

Nenek kering itu akunya sudah berusia tujuh lima, tapi kerap berubah. Hari ini tujuh lima, kemarin katanya delapan dua, entah besok. Namun yang nyata, dia masih cukup setrong untuk menjinakkan perabotnya. Ingatannya juga masih cukup kukuh guna menata saji dan fiskalnya. Bisa jadi Nek Lasmi adalah salah satu yang tersisa dari tokoh akal sehat yang asli bukan etok etok.

Terlihat sekejap semua aksesoris gudeg sudah tertata seperti template yang sudah dilakoni berpuluh tahun. Gudegnya style Jogja, cita rasanya pas gudeg pinggiran yang dirindukan, tidak mahteh atau eneg seperti gudeg restoran langit mencekik leher tiwase mung gori.

So, matahari Patuk perlahan naik membusur langit, kegiatan pasar mulai berjalan di degupnya yang puncak. Begitu dengan gudeg Nek Lasmi dikerumuni langganan seperti semut, meski demikian mata sipit sang nenek ini bisa merunut pembeli sesuai gilirannya.  Tertib kayak masuk MRT, bisik penikmat gudeg senang karena merasa kok gue jadi  bisa disiplin, yach?.

Biasanya jam sepuluh stok gudeg sudah menipis sementara pembelipun mulai berkurang, Nek Lasmi menyeka titik keringat didahi kemerutnya, bisa merasa sedikit lega tidak under pressure seperti dibukaan pagi.

Seorang lelaki muda mendekat warungnya sementara tak tertampak pembeli lain.

"Gudeg kumplit, buk" pemuda duduk di dingklik.

"Tinggal telur je mas"

"Ndak apa, buk. Nasinya separo saja"

Nek Lasmi sregep laden, seraya menyorong sepiring gudeg pesanan. Pemuda itu menyambutnya. Lalu makan dengan lahap.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun