Sang nenek memandang pembeli rakusnya. Sosok pemuda kurus kering pula, bercelana jeans lusuh dan berjaket trucker gading, bersepatu kanvas biru. Rambutnya acak acakan, tapi wajahnya tampan meski sedikit pucat. Nek Lasmi masih menatapnya panjang.
"Minumnya buk?" si ganteng rampung dengan santapnya. Nek Lasmi tersadar dari kesima.
"Teh pait ya mas" Nek Lasmi seperti hapal, pemuda ini mengangguk.
Meraih gelas hangatnya dan menenggaknya kering, sesudahnya dia mengrogoh kantung jaket, menjumput sebatang kretek lusuh dijarinya.
"Ini koreknya mas" Nek Lasmi seperti refleks melepas geretan batang ketangan si bujang. Lalu asap rokok menggulung,baunya harum cengkih. Nek Lasmi masih terkesiap mengingat entah ada di memori bolong menatap tua kewajah yang mengacuhkannya dihadapannya.
Sementara ini hanya mereka berdua di warung gudeg Jogja Nek Lasmi, tidak ada perbincangan kedua terdiam, hanya gulungan asap rokok menghalangi pandang empat mata ini. Nek Lasmi tiba tiba merasa kurang sehat, dia merasa jasmaninya mak jleg! Tidak maknyus lagi. Dia seperti meraba raba dan menyentuh dejavu.
"Sudah buk! Berapa?" si babang tamvan memecah sunyi mereka, sambil merogoh dompet dari saku belakang katok jeans blueknya.
"Sepuluh ribu.." jawabnya lirih.
Sang pemuda vintage mengeluarkan selembar uang sepuluh ribu.
"Ini buk.." dia memberikannya lalu berbalik dan berlalu.
Nek Lasmi menatapi uang digenggamannya. Uang Republik Indonesia 1972.