"Bola emas?" Kodri, Kepala Desa, membelalakkan mata sipitnya, meski kurang berhasil.
"Kau waras Din?!" Kumis jabriknya meregang.
"Sudah bos, percaya saja. Ini ide brilian", Â sahut Udin bawahannya meyakinkan. "Team sudah solid, tinggal jalan. Bos duduk manis, semua lancar" Udin, sebagai Kapala Urusan Dinas, memang negosiator kawakan yang selalu tau apa mau bosnya. " Lah.. ini pulitik, Din?" Bos Kodri bertanya ragu.
"Gini bos, itu mana ada olahraga steril. Politik olahraga dan Olahraga politik sama saja. Sehatnya malah rangkep bos. Mantap itu!", Udin makin menjadi jadi omongannya.
Bos Kodri berjalan mondar mandir lalu  memilin kumisnya, sebuah tanda yang amat dikenal Udin sebagai isyarat "deal".
Udin mencium tangan bosnya dan berlalu.
Keesokan hari perangkat desa mulai memasang banner ditempat strategis yang berisi ajakan untuk menyaksikan pertandingan sepak bola. Banner itu bertuliskan.
-Sepak Bola Emas! Pertandingan spektakuler. Tempat lapangan sepakbola utama. Waktu sore ini. Harap hadir bersama keluarga-
Dalam waktu singkat warga berkerumun, membaca spanduk dan saling bertanya sekaligus saling menggeleng, hanya menduga sekaligus membikin penasaran.
"Bagaimana? Nonton?" satu warga mengumpan. "Ah males. Nihil prestasi!" yang lain menimpali.
"Tapi ini bola emas?" serempak mereka bersuara.