Aku tak pernah melihat lagi Megimei. Sudah silam. Namun aku tak bisa luput dari kenangan. Detil parasnya, sumpah aku lupa. Hanya sejarah kasmaranmu masih terus memenjarakanku. Dimanakah engkau Megimei? Mantan terakhir yang tak juga lekang.
Dikota tak lagi kabarmu, di kotak telpon juga hapus  namamu. Aku tak lagi bisa menelponmu, bahkan bau udaramu tak lagi tercium di lorong lorong kota yang memuat jejak kita berdua. Aku merasa tunggal dikota kecil ini,  yang dingin malamnya membuatku kerap baper . Setelah kamu berlalu, serasa hariku salju melulu. Suwer!
Memang setelah kuliah dan bergelar cendekiawan sospol, perbedaan kita terus menajam.  Passion politik kamu yang menggelembung tak lagi bisa kutahan, tinggal menunggu waktu kulminasi ledakan. Kucoba buying time, hasilnya hanya zero effect. Hingga lima tahun berjalan persis di bulan Mei, Megimei dan aku sepakat bubar karena perbedaan politik.  Meg sangat berhasrat di politik besar sedang aku memilih pusaran  politik kecil kota kecil ini.  Yang selanjutnya kamu hengkang ke kota besar, membawa luka hati sekaligus mewariskan kita politic bleeding.
Sementara aku masih tetap dikota kecil ini, yang sekarang telah memasuki tahun ke enam sejak kepergian Megimei. Kesendirian pun berjalan seiring menyusuri tiupan  angin yang tak juga mampu menghembus luka. Kejamnya cinta memang  tak sekejam politik, layaknya kejamnya ibukota tak sekejam ibu tiri. Ah, aku belum juga move on,  sehingga tanpa sadar membuatku jadi penyair dadakan.
 Hingga suatau ketika,  datang kabar mengejutkan kemarin dibulan Juni ini, Megijun teman seangkatan Megimei, men DM ku, ingin berbicara langsung denganku malam ini. Firasatku koq kurang maknyus saat itu, namun kutepis dan sepakat bertemu dengan Megijun di satu cafe tempat nongkrong  yang dimaksud.
Jam delapan  setiba di cafe aku melihat Megijun  sedang duduk berdua dengan seorang perempuan, yang sepertinya pernah lama kukenal. Ku mendekat dan duduk  terpana, melihat kenyataan bahwa perempuan satunya adalah Megimei.
"Meg..?" aku memanggil. Serempak keduanya menatapku. Aku baru sadar jika nama mereka mirip cuma beda bulan.  Megijun  segera berdiri menepuk pundakku dua kali seraya tanpa kata melangkah pergi, menyisakan aku dan Megimei, juga  meninggalkan bon pesanan dimeja.
"Meg..?" aku mengulang, memandangi paras perempuan silam yang tertunduk didepanku.
Sekitar satu menitan membisu, Â aku menatap mantan terindahku, Megimei. Dia tampak lebih kurus, masih dengan wajah tirus memikat, meski ada kerut kegelisahan.
Namun tak lama suasana cair, komunikasi mulai mengalir, meski Megimei menjadi sedikit pendiam.
Sepintas kusimpulkan  waktu lima tahun merubahnya banyak, meski tak juga merubah pesonanya.