Kekalahan memang menyakitkan tetapi kebutaan melihat pesona itulah yang lebih membuat  kita galau.
Meremind  final piala dunia 1974 dimana dua gaya sepakbola bertarung yaitu Belanda vs Jerman, adalah keniscayaan dari Totaal Voetbal Belanda yang telah lebih dahulu menggiling lawan lawannya termasuk Brasil hingga difinal ini mengentarkan mesin disel Jerman. Meski ketika itu hasilnya Belanda kalah 1-2, tapi Belanda dikenang sebagai team yang dikagumi dengan filosofi anyarnya, yaitu mengerahkan seluruh sepuluh pemainnya dalam menyerang dan bertahan yang merupakan permainan fenomenal yaitu Total Football. Dipimpin "flying captain" legenda Johan Cruyff dan penyerang garis keras Johan Neeskens dengan pelatih jenderal perang  Meneer Rinus Michel.
Sebagai ilustrasi betapa sepadu hatinya para pemain Belanda ini, tersirat  dari celoteh Johan Neeskens terhadap sang kapten Johan Cruyff.
 "Jika dia mendapatkan bola, saya hanya menutup mata dan berlari. Bola tiba secara otomatis," Neeskens tertawa ketika ditanya tentang kaptennya, Johan Cruyff.
Sama halnya dengan Timnas Garuda pasca AFF 2018, mereka adalah skuat yang paling mempesona di tengah oposit opositnya. Dengan kapten "the one and only" Hansamu Yama dan playmaker Evan Dimas tak ada team lawan yang lebih sanggup mempesona. Lihat saja suami imut, the Filipino's brothers Philip dan James Yuonghusband, atau si Ultraman, Adisak Kraisorn penyerang Thailand, apalagi Ikhsan Fandi Ahmad penyerang Singapura. Meskipun mereka terkesan hebat dan firm, namun tidak terkarakterisasi, enggak ter nomenklatur, memang mereka hebat, tapi average, rata-rata  atau biasa untuk kelas Asean dan mudah ditemukan dimana mana.
Lain bicara soal pemain Timnas Garuda, seperti Riko Simanjuntak dan Lilipaly, baru mereka jalan saja sudah terlihat aura dari telenta genuine pemain bola yang spontan dihormati kawan dan lawan. Belum lagi pemain kita yang lain, yang tak cukup bisa dicari padanannya dengan head to head lawan.
Terus kenapa kita kalah? Pemain sepak bola kita adalah pemain dengan bakat alam, gifted, dan untuk itu perlu waktu dari seorang pelatih yang memadukan mereka dalam satu team. Apakah coach Bima Sakti inadequate? Bisa ya, bisa tidak. Kita tahu bahwa dia baru pertama melatih, ya baru melatih team, juga baru menggantikan Luis Milla. Apakah Luis Milla gagal?Â
Ia dong, dia kurang berhasil. Dalam dua tahun progress team work belum tersentuh, hanya pembenahan basic soccer dengan teori standard praktis tipe Spanyol, seperti bisa kita saksikan di kiprah kegagalan timnas Asian Games kemarin. Jika caranya demikian akan butuh waktu lama untuk merobah karakter bermain dari pemain timnas. Bisa sepuluh tahun mungkin, karena dipaksa bermigrasi  dari fiture Nusantara ke fiture alien. Ini akan berakibat psikologis seperti pengurangan fungsi bakat dan fungsi spirit, seperti menjadi kikuk dan males.
Kalau mau jujur, sebenarnya hal positif terlihat di kepelatihan coah Indra Sjafrie, bakat alam kaki kaki Indonesia tidak tereduksi dengan basic design asing, skuat Garuda remaja yang dipimpinnya menemukan bentuk alaminya yang ternyata cukup menakutkan lawan lawan muda di level Asia kemaren. Memang ada kelemahan penampilan strategi yang monoton, tapi itu bisa di reset atau di perkaya dengan masukan masukan dari pelatih pelatih sejawat. Asal open mind aja, jangan butthead, atau keras kepala, toh demi anak anak, ya kan?
Jadi masalah pelatih itu lokal atau impor, bukanlah masalah. Jika impor pelatih jangan hanya terpukau dengan curriculum vitaenya yang seabrek dan kelas bayarannya yang uwah, tapi bagaimana proposalnya, apa timelinenya dan yang penting dia mau feel good Indonesia enggak? Ngomong bahasa Indonesia, makan nasi goreng, lotek atau ketoprak, nonton acara tivi Indonesia, tapi enggak usah nonton yang alay. Jadi pada dasarnya, mau merasakan degup Indonesia, dan itu pasti sangat membantu.
Jadi sebenernya pekerjaan pelatih Timnas itu enggak berat berat amat, karena personil pemain team Garuda memiliki mindset yang sama karena mempunyai akar yang sama yaitu Bhineka Tunggal Ika. Jadi tinggal kumpul kumpul, bagi tugas langsung jadi, seperti moda autopilot. Â