Mohon tunggu...
Band
Band Mohon Tunggu... Supir - Let There Be Love

(PPTBG) Pensiunan Penyanyi The Bee Gees

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

AFF 2018, "Singapore Pressing"

10 November 2018   00:49 Diperbarui: 10 November 2018   01:47 620
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pertandingan Timnas Indonesia vs Singapura dalam laga Grup B Piala AFF 2018 di Stadion Nasional, Singapura, Jumat (9/11/2018) berakhir dengan skor 0-1. Garuda gagal mendulang poin di laga pembuka lantaran kebobolan oleh gol tunggal Harris Harun.

Timnas tidak bermain taktis dan sulit berkembang (litbang), ini seperti pertandingan anak rajin melawan anak malas, yang dimenangkan oleh anak yang rajin.

Pemain pemain Singapura terlihat rajin dan berlari terus tiada kenal lelah sampai akhir laga, rupanya pelatih Fandi Ahmad, sudah menyiapkan skuad nya dengan panjang nafas.

Meskipun menerapkan tipe permainan kuno tapi ternyata efektif juga. Penyerangan tim Singapura sangat sederhana, umpan ketengah manfaatkan backball kebelakang dan langsung eksekusi tendangan pemain lapis kedua. Itu yang terjadi pada goal tunggal Singapura, mengingatkan sepakbola era 70 dan 80 an. Era keemasan Fandi Ahmad (1982-83) saat menjadi penyerang yang massif dan stylist, juga ganteng dan baik hati, disaat keemasan klubnya, Niac Mitra Surabaya yang merajai liga Galatama saat itu.

Skill individu dan imaginasi penyerang Singapura bukan kualifikasi striker berbahaya, Ikhsan Fandi Ahmad ataupun Harris Harun sebenarnya beda level dengan Lilipaly atau Beto, 

Jadi apa keunggulan tim Singapura? Dengan pola 3-6-1, Singapura tidak hanya memainkan zona tengah atau bertahan, ternyata mereka memainkan system pressing zone, yang kelihatan fleksibel dan berhasil. Kombinasi pressing option, pressing position atau pressing space (ruang), berhasil memutus antar lini belakang- tengah dan tengah -- depan Timnas Indonesia, sehingga menjadikan permainan timnas sulit berkembang. 

Hal ini dilaksanakan tim Singapura dengan disiplin dan semangat yang tinggi sampai selesai pertandingan. Dan tentu saja sangat menguras stamina, namun tidak terlihat timnas Singapura kedodoran atau menggeh menggeh. Kelihatannya persiapan fisik mereka enggak main main dan ini diluar dugaan, mereka masih bugar saat merayakan kemenangan.

Sementara Timnas Indonesia, tidak segera memanfaatkan celah dari pressing zone Singapura. Adalah tugas Evan Dimas (lini tengah-depan) atau Rizky Pora (lini belakang-tengah). Kelemahan pressing zone adalah blind side, atau sisi yang tak tampak yang mesti bisa dimanfaatkan pemain sekelas Evan Dimas. 

Namun ini, harus dipahami oleh pemain lain, bahwa Evan Dimas harus dipercaya sebagai jangkar, pivot dan pembagi bola sekaligus. Mestinya pelatih Bima Sakti, yang sudah familiar dengan peran ini dimasa keemasannya, otomatis akan memakai skema ini, sedikit mengherankan nih! Apa mungkin rancu atau ewuh pakewuh dengan warisan Luis Milla? I don't know,man.

Jika Evan diperankan seperti itu, maka jika serta merta tiga atau empat pemain Singapura yang kerjaanya pressing position, akan mengepung atau terhisap oleh Evan Dimas, jadi tinggal Evan Dimas melihat blind side nya untuk melepas bola. Saya pikir inilah kelebihan yang biasanya diperlihatkan seorang Evan Dimas. Tapi sayang seribu sayang tidak dijalankan. Harusnya biarkan  atau relakan Evan Dimas jadi jendral lapangan.

Seperti itu loh, siapa tuh pemain Barcelona? Cesc Fabregas ya,  saat berkiprah di Barcelona. Dia selalu disuruh pelatihnya begitu dalam menghadapi lawan yang memakai pressing zone.

Menarik tukang tukang pressing itu, lalu meloloskan bola untuk menyerang, dan itu bukanlah orang sembarangan yang mampu, harus punya skill dan karisma atau stempel gelandang pivot, baik di internal team atau sudah terkenal di kawasan luar seperti asean atau bahkan asia. Pokoknya terkenal disekitar musuhnya juga.

Memasukkan gelandang Riko Simanjuntak, sementara memang bikin kejut pemain Singapura, tapi Riko hanya berperan sebagai vortex breaker individu, artinya dia bisa jadi pemecah kepungan pressing pemain Singapura, untuk aksi individunya, tidak lebih. Alhasil permainan timnas secara team work tetap enggak bisa berbunga atau berkembang.

Ya sudah. Sampai jumpa di pertandingan berikutnya.

Kekalahan adalah kemenangan yang tertunda. Tapi jangan kelamaan kalahnya. Sip!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun