Mohon tunggu...
Band
Band Mohon Tunggu... Supir - Let There Be Love

(PPTBG) Pensiunan Penyanyi The Bee Gees

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Puisi | Luna

13 September 2018   11:37 Diperbarui: 13 September 2018   12:11 374
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Semenjak itu mata Luna melihat kejauhan yang tak terlihat. Mata indah bola pingpongnya memahami yang dulu pernah  ditolaknya mati-matian. Dia begitu telanjang dan terbuka. No time to run, no place to hide. Luna, barangkali tiba di anomali mile stone, bahwa hukuman seumur hidup lebih berat dari hukuman mati.  Membiarkan mendung matanya membasahi kedua pipinya, dari balik panggung yang selesai untuk kembali kepanggung esok, lusa dan selanjutnya lingkar fajar yang bertahun.

Asta tahun masa pengadilan hina dimana nadi pergelangan menggoda berulang untuk memutus waktu, tapi Luna masih berdenyut untuk tidak membeku di langit hitam yang tertumpah di sekujur takdirnya.

Melangkahlah Luna perlahan hari per hari, kesusahan sehari cukuplah untuk sehari, karena hari esok akan mempunyai kesusahannya sendiri,  so janganlah kamu kuatir hal esok hari.

Karna tak jelas lagi pegangan yang pasti saat sanksi dunia bercampur fiksi , maju hancur atau pupus.  Dan Luna mempelajarinya meski dengan kengerian menoleh kebelakang, meskipun jalan kecilnya bercabang arah. Arah yang sangat dikenalinya berwarna warni atau arah yang cuman satu warna yang membuatnya mungkin lebih baik.

Namun saat ini Luna sedang menempuh kembali masanya di arah berwarna warni bukan satunya, yang kelak menagihkan basah air matanya berkali lagi. Kembali seperti embun yang mencukupi dirinya sendiri, memuaskan daun, setelah itu akan dikosongkan oleh hangat mentari, dan di semburkan kembali kelaut. Begitu luasnya takdir dan begitu sepelenya dunia.

Panggung memang sudah berbeda, ukurannya tidak seperti dulu lagi. Meski Glamor nya tak pernah jeda dan berbeda, sejati dan fake begitu cemplang karena bayang hitamnya hati yang seragam susah mengurai.

Jalan normal akan berujung sepi tak tertepis. Seperti menyulam koyak di kain rapuh, Luna tau dan memaksa menempuh yang telah dipahami ujungnya. Seperti menegakkan benang yang basah, seperti merias wajah orang mati.  Tak pernah ada peluang berhasil baik.

Sejatinya hakim di ruang memang satu tapi diluar berjejal dan  begitu masif, membuatnya terbuang dari tanah leluhur. Tak ada lagi yang  mau dipertaruhkan lagi dan Luna hanya menaruhnya di waktu.

Dosa memang terampunkan namun dia tetap  tak bertepi.

 Sep2018

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun