Mohon tunggu...
Band
Band Mohon Tunggu... Supir - Let There Be Love

(PPTBG) Pensiunan Penyanyi The Bee Gees

Selanjutnya

Tutup

Bola

Unek-unek Semifinal

18 September 2017   13:49 Diperbarui: 18 September 2017   13:57 1143
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bola. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Adu tendangan duabelas pas di  semifinal AFF-U18 berkesudahan 3-2 untuk kemenangan tim U19 Thailand. Tim muda kita pun tak mampu menahan sedih dan menangis terduduk di hijau rumput Tuwuna, Yangon. Inilah hari menangis nasional setelah beberapa waktu sebelumnya kita telah berhasil melewati dengan tabah,  hari patah hati nasional melepas Raisa jelita.

Kekalahan semifinal ini sekaligus melengkapi persis jejak kekalahan kakaknya U22 pada  Sea Games lalu, barangkali juga akan menyamakan prestasi peringkat ketiga sang kakak. Meskipun tidak jelek tapi tetaplah kurang menarik.

Banyak pengamat  sepakbola, baik yang pro atau amatiran atau dadakan (seperti saya) menganalisis baik dengan secara cermat, bedasar data, sampai  baper dengan pengalaman personalnya  atau bahkan  versi perutnya sendiri, namun mesti kita sadari inilah bentuk kecintaan kita kepada sepakbola Indonesia. Meskipun kadang kadang cinta kita bertepuk sebelah tangan, kau buat remuk, seluruh hatiku uuuu.. (Dewa19-album Cintailah Cinta, 2002).

Bole dikate seperti koor menyuarakan bahwa tim muda kita mentalnya buruk, mudah tersulut emosi. Tentu saja sangat beralasan, melihat jalannya pertandingan kasat mata kita menguasai dan mengendalikan pertandingan dengan permainan ciamik (tiki-taka silang?) dan mencipta banyak peluang gol dengan cara yang teraorganisir dan atraktif bukan grabak grubuk asal nyerang. Namun peluang ini gagal maning, gagal maning son.  Apa salah saya? Apakah dewi fortuna tidak memihak kita, seperti banyak diamini sebagian penganalisis?

Tapi tunggu dulu, kita semua tau kita tampil dengan 10 pemain dibabak kedua,  setelah dipeluit kembar tanda akhir satu babak dan peluit untuk Saddil Ramdani sebagai kado kartu merah. Namun ternyata permainan kita semakin menjadi bernas melawan 11 pemain Thailand, dan lawanpun lebih di repotkan melebihi neraka babak pertama. Namun kembali peluang golpun tetap tidak berbuah, sehingga mencapai akhir pertandingan sekor kaca mata jengkol tetap bertahan.

Fase adu pinalti harus dilakoni setelahnya. Terus terang penulis kita ini sudah pesimis saat itu, aroma frustrasi penyumbatan gawang Thailand terasa semakin pejal.  Sosok penjaga gawang Thailand, Kanthapat Manpati,nampak bagai predator yang siap melumat tendangan  tukang jagal penalti tim Indonesia, disisi lain pemain kita nampak begitu mungil, malu dan tidak berdaya. Betul saja, Manpati berhasil memblok 3 tendangan kita, sehingga skor 3-2 buat mereka  untuk mendapatkan tiket ke final.

Dan seperti  ditulis diatas, kita menangis, menangisi ketidak berhasilan. Kegagalan adalah sukses yang tertunda, katanya. Tapi kenapa kita gagal mulu ya opa? Kata cucu ponakan saya.  Aku nggak bisa menjawab, karena aku sendiri gemes dan gedeg. Kalo pun aku jawab dia belum bisa mengerti, karena masih kecil, kasian nanti malah menjadi beban.

Namun diam diam aku enggak setuju, bahwa ini soal dewi fortuna atau keberutungan atau untung rugi, emangnya lotre, anda belum beruntung. Yang jelas kita kalah dan enggak menang titik, dan ini kegagalan yang bisa di evaluasi dan diperbaiki, bukan keuntungan yang absurd yang susah dikenali ujudnya.

Dari adegan pertandingan yang berlangsung itu kita demikian superior dengan 10 pemain  yang bisa mengobrak abrik 11 pemain Thailand, dengan kata lain kita bisa mengalahkan 11 lawan dengan 10 pemain kita. Namun celakanya disisi lain, kita juga menjadi inferior,  10 pemain kita dikalahkan oleh 1 orang pemain lawan, yaitu Manpati, sang penjaga mistar Thailand.  Fenomena ini selalu menjadi momok di sepakbola kita, kita bisa menjadi superior bersamaan menjadi inferior juga. Aneh tapi nyata, believe it or not.

Secara aggregate tim Indonesia unggul skill individu , bakat dan permainan kolektif, namun miskin endurance kesabaran untuk menghadapi pertandingan alot dan menjurus frustrasi dan provokatif, maklum masih muda, bisa saja terlalu cepat merasa hebat dengan kemampuan skil dan bakatnya, meliuk liuk  meskipun tidak ada gol. Padahal ukurannya KPI, key performance index nya yaitu tadi goal.

Atau barangkali Indonesia punya handicap dialam bawah sadar setiap berhadapan dengan tiam Thailand atau Malaysia, sehingga menjadi momok dan gampang keder. Tak taulah.

Record kita juga aneh, vs Miyanmar menang 2-1, vs Filipina menang 9-0, vs Vietnam kalah 3-0, vs Brunei menang 8-0, secara statistik susah di simpulkan model tim ini berpola apa, menang 9 kalah 3, bingung menyimpulkan karaktiristik tim, bisa dibilang tim yang solid juga bisa dibilang tim yang sulit. Tapi apapun hasil pertandingan kita kembalikan saja  ke idiom basi, bola itu bundar, kalo peyang biasanya kepala. 

Lain halnya dengan tim Thailand, record pertandingannya  clean sheet dari kekalahan, dia terlihat sebagai tim turun temurun dengan staying power, sehingga pola jatuhnya enggak jauh dari pohonnya alias similar dengan tim tim senior pendahulunya. Terlihat lebih matang dan enggak nangisan atau cengengesan, mungkin struktur pembinaan olah raga di negaranya pancen oke.

Terlihat dari sisi psikologi sepakbolanya pun tim Thailand terlihat mumpuni, cool, cerdik dan tidak bodoh dalam memenej provokasi dalam kondisi under pressure atau posisi advantage, sehingga sangat membantu  proses memenangkan pertandingan disaat desperate atau mempertahankan kemenangan.

Barangkali juga tim muda kita terkohesi dengan mindset liga-1 Indonesia sebagai ikatan sumber emosi dan mental berkelahi dan pertandingan yang brutal dengan supporter yang sering bermasalah.  Sampai sampai diambil kebijakan wasit impor atau wasit bule karena sudah ampun atas  kejadian wasit lokal yang pulang bengeup.

Cepat gembira dan cepat ciut, harus segera di setip oleh pakar mental di tim kita. Bisa diresapi falsafah yang baik dari matan presiden Suharto, aja kagetan, aja gumunan dan aja dumeh. Jangan kagetan, jangan heran dan jangan mentang mentang.

Sehingga pemain menjadi balance tidak saja di permainan tapi juga di jiwa.

Ini  bisa kita lihat pada laga semifinal ini, Thailand begitu terbiasa di gedor pertahanannya sehingga mereka percaya diri dan tidak morat marit, dan cepat mengorganisir diri secara otomantis. Sebaliknya, kita baru diserang beberapa kali sudah morat marit ditambah lagi komentator  tv udah horror banged. Iiih.. jebret..!

Luwuk20170918

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun