Ketika pulang ke Garut, kadang saya membuka lemari bapak. Sekedar mengamati koleksi pakaian dia yang puluhan tahun nyaris tak banyak bertambah. Ada celana jeans biru, celana katun, kemeja, jubah, batik dll, saya hafal isi lemari itu, karena dulu sering mencuri rokokditempat itu.
Melihat isi lemari kadang saya kagum, ternyata bapak masih menyimpan rapi pakaian-pakaian lamanya.Yang jika dipakai saat ini, sudah tak modis lagi. Saya hanya membayangkan sewaktu Bapak masih muda, memakai pakaian dan celana kebanggaannya. Dan sudah pasti, tidak mudah untuk membelinya.
Suatu waktu, dihadapkan pada kenyataan, di Mampang Prapatan saya bertemu kawan lama dari Bangka. Ia berteriak “ Woi sepatu gue, balikin “. Sambil terkekeh telunjuknya menuding sepatu yang saya pakai. “ Hahahaha Masih betah Day, awet”. Menjawab candanya.
Sepatu yang dipakai waktu itu hingga hari ini, diberi sama kawan Uday. “ ini sepatu yang kupakai waktu kawin Bro, jaga ya “. Terngiang petuah Uday beberapa tahun lalu di Sungai Liat-Bangka.
Petuah itu terngiang kembali seminggu lalu, ketika hasrat sempat tergoda untuk membeli sepatu sejenis. Mengingat yang ini, jaitan pinggirnya hampir jebol. Sempat melirik-lirik sepatu bermerk dan survei harga disebuah Mall, namun kembaliteringat petuah Uday., Hehehe, seperti ada wajah Uday disepatu itu. Akhirnya, saya putuskan mencari tukang sol di Pasar Minggu. Rupanya, akibat penertiban, tukang Sol sudah tak nongkrong ditempat biasa. Baru setelah berkeliling seharian, saya menemukan ahli jahit sepatu itu . Sim salabim ! dengan perjuangan cukup, sepatu nampak kembali bugar , dan alhamdulilah, sepatu itu masih bisa nongkrong dalam sebuah acara diBogor pekan kemarin.
Japra, kawan saya dari Garut sebaliknya. Tak pernah bertanya soal tas yang pernah ia berikan. Teringat, tas yang talinya sudah dijahit itu masih tergantung di Lampung Timur. Terakhir saya ingat , sakunya bolong oleh puntung rokok, hurufnya pun nampak pudar. Lebih dari tujuh tahun tas itu berjasa menemani perjalan, menjadi bantal ketika tidur dimacam-macam sekretariat, dikapal laut, ladang, kebun sawit, klotok, sungai, hutan dll. Kadang tas yang diisi pakaian lebih terasa empuk dibanding bantal asli.
atas hal itu, orang rumah kadang mengkritik, katanya saya terlalu sentimentil dengan barang-barang butut . ketika tas dan dompet belel harus turut serta dalam koper ketika kami pindah dari Kalimantan Tengah ke Lampung Timur, saya hampir pakai urat leher untuk memastikan agar barang-barang itu tak terbuang.
Kadang jika dipikir, ada benarnya kritik orang rumah, tak bagus juga terlalu sentimentil terhadap suatu barang, yang terkadang menyita ruangan sempit. Namun saya juga sadar dan meyakini, bahwa setiap manusia punya sisi sentimentilnya sendiri. Contoh, Kenapa Borobudur harus dirawat hingga kini, meskipun saya yakin, candi itu simbol kejayaan perbudakan masa silam jika dipandang dari sisi kemanusian, borobudur tak layak untuk dikenang.
Namun itulah manusia, seperti diberi bonus lebih dalam otaknya, dan seandainya kita ini seekor kucing, pasti mereka heran melihat tingkah manusia. Atas hal itu, saya bisa memahami dari beberapa peristiwa, mengapa kemudian orang diberbagai tempat menolak keras direlokasi atau digusur dari tempat tinggalnya ? Selain alasan matapencaharian, saya meyakini, mereka punya rasa sentimentil sendiri atas tempat itu. Bukan soal ditempat lain lebih nyaman, lebih bagus dan lebih menjanjikan. Mungkin ditempat itu, mereka punya nuansa lain yang tak mampu kita gambarkan.
Atas perasaan mereka, saya hanya bisa membayangkan jika hal itu terjadi pada diri saya, jangankankan tempat tinggal, saya rasakan, bagaimanajika tas pemberian Japra hilang dicuri, atau sepatu yang dikasih Uday dilempar ketukang loak ? Tas baru dan sepatu baru sekalipun, belum tentu bisa mengganti perasaan terhadap kedua barang itu. Artinya, sebuah barang tak melulu dipandang produktif atau non produktif, ekonomis atau tidaknya. begitu juga ketika memandang tempat tinggal seoarng manusia.