Sebenarnya kemiskinan bukan merupakan perosalan baru di negeri ini. Pada saat awal sebelum kemerdekaan Pemerintah Kolonial Belanda mulai resah atas kemiskinan yang terjadi di Indonesia tepatnya di Pulau Jawa. Pada saat ini hal yang paling spesifik yang menjadi indikator terjadinya kemiskinan adalah pertambahan penduduk yang sangat pesat di negeri ini.Â
Kemiskinan tidak hanya terjadi di perdesaan saja namun dikota -kota besar seperti Jakarta sangat marak terjadi kemiskinan. Kemiskinan juga tidak semata-mata disebabkan karena perosalan ekonomi saja. Melainkan kemiskinan kultural dan struktural.Â
Meski kemiskinan merupakan sebuah fenomena yang sudah lama terjadi, dan pemerintah juga sudah berupaya untuk memberantas kemiskinan namun hal ini belum menunjukkan hasil yang menggembirakan. Para pakar ekonomi pada awalnya melihat masalah kemiskinan sebagai sesuatu yang hanya selalu dikaitkan dengan faktor-faktor ekonomi saja.
Kondisi umum masyarakat desa pada umumnya banyak dari mereka yang tidak mampu memenuhi kebutuhan sandang dan pangan. Bahkan untuk mempertahankan hak-hak dasarnya untuk bertahan hidup saja sulit bagi mereka.
 Krisi ekonomi yang berkepanjangan ini menambah panjang deret persoalan yang membuat negeri ini semakin sulit untuk keluar dari jeratan kemiskinan. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya anak yang putus sekolah dan buta huruf.
Belum lagi tingkat pengangguran yang meningkat secara signifikan. Dengan banyak nya pengangguran hal ini mengakibatkan banyak masyarakat yang tidak memeiliki pengahasilan karena mereka tidak bekerja. Karena mereka tidak bekerja dan tidak memiliki penghasilan, mereka menjadi tidak mampu untuk memenuhi kebutuhan sandang dan panganya.Â
Secara otomatis pengangguran telah menurunkan daya saing dan beli masyarakat. Sehingga, akan memberikan dampak langsung terhadap tingkat pendapatan, nutrisi, dan tingkat pengeluaran rata-rata.
Untuk mengetahui lebih mendalam bagaimana krisis ekonomi yang terjadi di perdesaan saya mengunjungi salah satu tetangga saya di Desa Selorejo Kecamatan Ngunut Tulungagung. Saya menemui Bapak paruh baya yang bernama Bapak Idris. Pak Idris sendiri merupakan orang yang kurang mampu di Desaku.Â
Rumahnya tidak terlalu jauh dari rumahku, bakan cukup dekat karena hanya berbatasan satu rumah saja. Pak Idris tinggal di sepetak rumah yang menurutku belum cukup layak untuk disebut rumah. Karena dia hanya tinggal di satu ruangan saja yang hanya beralaskan tanah. Beliau tinggal sendirian dirumah itu.Â
Tinggal sebatang kara tanpa dampingan istri maupun sanak saudara. Memang pak idris ini belum pernah menikah. Dari beliau muda sampai umur 60 tahun tahun, pak Idris merantau di Malaysia. Disana dia bekerja sebagai tukang bangunan. Namun karena dulunya beliau senang berjudi maka hasil selama beliau berantau habis seketika untuk berjudi dan untuk bersenang-senang dalam hal lain.
 Karena umurnya yang sudah cukup tua Pak Idris memutuskan untuk balik ke Indonesia. Setelah sampai di Indonesia Rumah yang biasa beliau tempati, beliau jual untuk menanggung kebutuhan hidup di sini. Jadi Pak idris hanya menempati bagian belakang rumah tersebut. Tidak ada kamar maaupun ruang tamu. Diruangan tersebut hanya ada kursi panjang yang beliau gunakan untuk tidur sehari-harinya.
Uang hasil penjualan rumah tidak berhasil beliau gunakan untuk menyambung hidup. Namun uang tersebut beliau gunakan untuk mebayar hutang-hutang hasil bermain judi diwaktu itu. Karena tidak ada uang lagi, baliau memutuskan untuk bekerja sebagai penjual jagung rebus.Â
Beliau berjualan di desa Tenggong Kecamatan Rejotangan. Agak lumayan jauh dari rumahnya menuju tempat kerja sekitar 10 menit untuk sampai kesana. Biasanya beliau berjualan mulai pukul 4 sore sampai 10 malam. Untuk jagung yang beliau jual, beliau membeli kulakan jagunya di Tulungagung.
 Sangat jauh dari rumah untuk sampai ke Pasar Ngemplak. Mengingat usia beliau yang sudah tidak muda lagi, dan juga motor tua yang beliau gunakan sehari harinya sudah sangat tidak layak. Hasil dari berjualan jagung pun tentu sangat belum cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.Â
Apalagi sekarang ini di Tulungagung mulai jam 2 sampai malam hari sering turun hujan. Sehingga omset dari berjualan pun sangat tidak seberapa. Bahkan sehari-harinya jika hujan tidak reda, Pak Idris tidak membawa uang sepeserpun dari hasil berjualan. Jagung yang tidak lagu biasanya beliau bagikan ke tetangga-tetangga sekitar biar tidak mubazir jika dibuang.
Untuk kebutuhan makan sehari-harinya biasanya beliau mendapat bantuan dari desa berupa uang, beras, dan juga kebutuhan pokok lainya yang bisa beliau gunakan sehari-harinya. Namun bantuan dari desa datangnya tidak selalu sebulan sekali.Â
Tetangga sekitar yang turut prihatin akan kondisi pak idris biasanya mereka turut membantu untuk menyumbang sedikit uang maupun bahan pangan untuk membantu kebutuhan hidup beliau sehari-hari. Banyak dari tetanggaku yang setiap sore kerumah pak idris untuk mengantar sedikit makanan untuk beliau makan nanti malam selepas bekerja.Â
Warga setempat juga turut membantu membeli dagangan pak idris, karena menurutku jagung yang beliau jual sangat enak, manis dna juga besar-besar. Beliau menjualnya hanya seharga dua ribu rupiah satunya.
Meskipun hidup dalam kesusahan, Pak idris menurutku merupakan orang yang ceria. Saat bercerita pun beliau sambil tersenyum dan tertawa. Pak Idris juga merupakan orang yang ramah, saat bersimpangan di jalan tidak segan beliau menyapa orang-orang yang lewat didepanya. Dimasa tuanya pun beliau tidak mau hanya menerima bantuan dari warga setempat.
 Selagi beliau masih sehat dan mampu untuk bekerja, beliau sangat semangat untuk mengumpulkan pundi-pundi rupiah dan tidak hanyak bergantung tangan dengan bantuan saja. Semangat dari beliau inilah yang dapat kita ambil, kita tidak boleh hanya menunggu bantuan dari orang lain. Kita yang masih muda tidak boleh bermalas-malasan dalam bekerja agar dihari tua kita dapat menikmatinya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H