Tangan bung Karno bergetar. Mata beliau berkaca-kaca. Usai menorehkan tanda tangan, beliau menangis tersedu sedu hingga bahunya terguncang. Para staf kepresidenan pun dirundung haru dan tak kuasa menahan hingga turut menitikkan air mata. Lantas berkas apa yang ditanda tangani saat itu sehingga beliau sangat emosional penuh pergolakan batin  ?Â
Semua berawal dari rumah H.O.S Tjokroaminoto
Sejarah selalu menarik untuk dikenang. Tercatat oleh tinta emas bahwa founding fathers kita adalah orang orang gagah. Sebagaimana kisah ini yang menceritakan bung Karno dimasa perjuangan. Kala itu di Bandung tahun 1920. Dirinya dan Sekarmadji Maridjan (SM) Kartosoewirjo indekos dirumah pahlawan ternama H.O.S Tjokroaminoto.Â
Hari-hari yang mereka lalui penuh bincang politik diskusi dan debat. Tak heran ketiga tokoh ini begitu dekat satu sama lain.
Kedekatan bung Karno dengan Karto
Sebagaimana dilansir oleh surya.co.id, hati kita akan tersentuh saat membaca tulisan tangan bung Karno saat ia mengenang Karto sebagai sahabat sekaligus kakaknya.
Karto adalah kritikus handal. Sebab itu bung Karno selalu meminta masukan dirinya saat latihan pidato. Kritik Karto sangat pedas dan menusuk, sebab ia ingin bung Karno menjadi aktivis ternama sekaligus orator ulung. Dan kelak cita-citanya terkabul. Bung Karno menjadi salah satu orator terbaik dunia pada masanya.Â
"Pada tahun 20-an di Bandung kami tinggal bersama, makan bersama, dan bermimpi bersama-sama."Â (Bung Karno, Penyambung Lidah Rakyat.)
Seperti kakak adik, saling ledek dan tertawa
Pernah suatu ketika bung Karno berlatih pidato dan gesture didepan cermin ala Oprah Winfrey. Alangkah terkejutnya beliau tetiba Karto sudah ada dibelakangnya seraya mengejek, "Hei Karno, buat apa berpidato di depan cermin ? Seperti orang gila saja."Â
Bubar konsentrasi bung Karno ! Susah payah beliau menahan tawa seraya berucap, "Tidak seperti kamu, sudah kurus, kecil, pendek, keriting mana bisa jadi orang besar !"
Maka spontan keduanya tertawa tergelak gelak.
peristiwa menggelikan ini dikutip dari Majalah Intisari Edisi Agustus 2015.
Ya, kedekatan mereka lebih dari sekedar sahabat. Malah lebih pas seperti kakak beradik. Contohnya saja saat bung Karno mengadu pada Karto bahwa dirinya diganggu pemuda pemuda berandalan. Maka Karto pun tak terima. Ia menghampiri dan menghajar mereka hingga kabur lintang pukang. Sesudahnya ia memarahi Sukarno yang kerap bepergian seorang diri hingga larut malam.
"Karto, ia adalah seorang sahabatku yang baik. Kami bekerja bahu membahu bersama Pak Tjokro demi kejayaan Tanah air."Â (Bung Karno, Penyambung Lidah Rakyat.)
Dipisahkan takdir dan menjadi musuh besar
Takdir Tuhan membesarkan nama mereka, memisahkan mereka dan membuat mereka menjadi musuh besar satu sama lain.
Pandangan politik bung Karno dengan Karto kian terbentang jauh meski tetap dalam frame cinta Indonesia. Hingga tiba saat kemerdekaan diproklamasikan, bung Karno terpilih menjadi presiden. Beliau menerapkan ideologi nasionalis yang menurutnya smooth, moderat untuk diterapkan di Indonesia yang masih sangat belia. Beliau berkeyakinan Pancasila dengan bingkai nasionalisme adalah rumah ramah yang mampu mengakomodir seluruh elemen bangsa yang majemuk.Â
Adapun Karto memiliki ideologi relijius yang dikemudian hari bermetamorfosa menjadi Khawarij. Keras, frontal bahkan menjurus radikal sebagaimana yang dianut ISIS dan Al Qaeda Taliban. Sangat jauh berselisih dari ajaran Islam yang damai penuh kasih.
Berulangkali bung Karno berusaha memuliakan Karto dengan mengundangnya masuk ke dalam kabinet atau dialog bersama. Namun Karto menampik. Baginya Daulah Islamiyah atau tidak sama sekali !
Jalan terjal mendaki seorang Kartosoewirjo
Karto menganggap bung Karno bukanlah amir (pemimpin) yang sah. Maka siapapun yang bukan amirul mukminin maka dialah amirul kafirin. Sebuah logika patah menyesatkan yang merumuskan pemikiran Karto pada sebuah fatwa final bagi para pendukungnya : Bung Karno bukan ulil amri dan darahnya halal ditumpahkan !
Maka berontaklah Karto terhadap NKRI dan mendirikan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) sebagai antitesis PKI yang menurutnya terlalu dimanjakan rezim Bung Karno.
Namun tindak anarkis DII/TII yang keluar masuk kampung, merampok, menebar teror serta membunuhi warga tak pelak membuat gerombolan ini sama persis dengan PKI : sadis, brutal dan tak berperi kemanusiaan ! Maka bila PKI adalah Eki (Ekstrim kiri), DI/TII adalah Eka (Ekstrim kanan).
Alhasil Yonif 328 dan satuan Divisi Siliwangi turun meredam aksi DI/TII. Perlahan tapi pasti TNI mendekati persembunyian mereka yang kerap keluar masuk hutan dan naik turun gunung. Aksi ini dikenal dengan operasi Barata Yudha.
02 Juni 1962 pasukan DI/TII terdesak akibat formasi pengepungan pagar betis Yonif 328. Persediaan ransum pemberontak ini habis. Diperoleh info dari masyarakat, mereka merampok pemukiman warga untuk yang kesekian kalinya lalu melarikan diri di kaki gunung Gede.
Sebagai bukti bahwa DI/TII bukan representasi ajaran Islam ialah : Masyarakat serta para pemuka agama bekerja sama dengan Yonif Linud 328 dalam mencari jejak guna menumpas mereka.
Nah penangkapan Karto sendiri terjadi pada 2 Juni 1962 di kawasan kaki gunung Gede-Pangrango setelah terjadi baku tembak yang sengit.
Karto ditangkap dalam kondisi terbaring lemah diatas ranjangnya. Ia tampak kurus dan pucat. Kemudian oleh Pengadilan Mahkamah Darurat Perang (Mahadper), karto diadili dan dijatuhi hukuman mati.
Menandatangani berkas eksekusi mati sahabat
Berkas eksekusi mati atas nama Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo berkali-kali masuk dan berkali-kali pula disingkirkan dari meja kerja si bung besar.
Namun apa daya bung Karno ? Tekanan publik menguat dan keadilan harus ditegakkan. Hal ini sebagai tindakan tegas pemerintah terhadap para pemberontak dan gerombolan separatis yang coba coba merongrong kedaulatan Pancasila.
ACC pidana mati Karto ditanda tangani pada 16 Agustus 1962. Adapun eksekusi dilaksanakan 4 September 1962 subuh dini hari di sekitaran teluk Jakarta.
Sungguh momen yang sukar diutarakan dengan kata kata ! Beliau menandatangani hukuman mati sahabatnya sendiri.
Dikabarkan saat itu tangan bung Karno bergetar. Mata beliau berkaca-kaca. Usai menorehkan tanda tangan, beliau menangis tersedu sedu hingga bahunya terguncang. Para staf kepresidenan pun dirundung haru dan tak kuasa menahan air mata.
Soekarno, he just a human being
Bung Karno dibalik sosoknya yang menggelora revolusioner hingga berani menentang hegemoni AS, beliau tetaplah manusia biasa. Sekali tempo bung Karno bisa ketakutan, patah hati, meledak ledak, tertawa terbahak bahak hingga tersedu sedan sebagaimana diulas oleh ajudan beliau Bambang Widjanarko dalam bukunya yang terkenal, "Sewindu Dengan Bung Karno."
Dan kita Indonesia adalah bangsa besar yang menghargai jasa para pahlawannya serta hormat pada para pemimpinnya.
Bangga dong jadi bangsa Indonesia ? Kalo nggak bangga mah sunat lagi trus pake sarung lagi aja dah ehehehe.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H