Mohon tunggu...
Bambang Setyawan
Bambang Setyawan Mohon Tunggu... Buruh - Bekerja sebagai buruh serabutan yang hidup bersahaja di Kota Salatiga

Bekerja sebagai buruh serabutan, yang hidup bersahaja di Kota Salatiga

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

35 Tahun Lumpuh, Rupini Tak Pernah Disentuh Dokter

12 Oktober 2021   14:55 Diperbarui: 12 Oktober 2021   14:57 647
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Rupini yang 35 tahun alami kelumpuhan total (Foto: Bamset)

Rupini (45) , warga Dusun Krajan RT 13 RW 03, Desa Regunung, Kecamatan Tengaran, Kabupaten Semarang sepertinya didera kemalangan berkepanjangan.  Di mana, sejak 35 taon silam, ia mengalami kelumpuhan total, namun, belum pernah tersentuh tangan medis. Seperti apa kondisinya, berikut catatannya untuk Indonesia.

Keberadaan Rupini yang berstatus masih perawan ini, awalnya didengar oleh Bambang Setyawan selaku penanggungjawab Relawan Lintas Komunitas (Relintas) Kota Salatiga. 

Di mana, salah satu warga Tengaran bernama Eko, mengabarkan bahwa di wilayahnya terdapat seorang perempuan yang berpuluh tahun alami kelumpuhan tanpa pernah ditangani dokter.

Dikatakan , Rupini selain mengalami kelumpuhan, juga tak pernah mendapatkan bantuan Program Keluarga Harapan (PKH) mau pun bantuan- bantuan lainnya. Dalam keseharian, ia dirawat adik tirinya yang bernama Siti Mukaromah (35). Celakanya, hidup Rupini benar- benar harus bergantung pada sang adik. Sebab, selain tengkurap dan terlentang, ia tak mampu melakukan aktifitas lainnya.

Rupini saat dikunjungi Bamset (Foto : Bamset)
Rupini saat dikunjungi Bamset (Foto : Bamset)

Karena merasa perihatin dengan kabar yang diterimanya, akhirnya Bambang Setyawan yang biasa disapa Bamset, segera bergegas menyambangi desa di mana Rupini tinggal. Tak butuh waktu lama untuk menemukan rumah perempuan malang tersebut, kendati berjarak sekitar 20 kilometer itu.

Saat Bamset tiba di rumah sederhana tersebut, ia disambut Siti Mukaromah sembari menggendong anaknya. Sedangkan Rupini, berada di atas ranjang kayu sederhana tanpa kasur, posisinya tengkurap. 

Mengenakan kaos warna biru, tanpa BH mau pun celana dalam, bagian pinggang ke bawah hanya ditutupi selembar jarik lusuh. Dalam keseharian, perempuan malang ini ditemani radio mungil.

Rupini menyapa ramah Bamset, ia menuturkan sehari- hari dirinya hanya mampu tengkurap atau telentang. Untuk perubahan posisi dari tengkurap jadi telentang, harus dibantu adik tirinya. " Kalau buang air besar mau pun kecil, ya tetap harus dibantu adik saya," tuturnya.

Kaki Rupini sudah tak normal lagi, begitu pun tangannya (foto: Bamset)
Kaki Rupini sudah tak normal lagi, begitu pun tangannya (foto: Bamset)

Menahan BAB Seharian

Menurut Rupini, petaka yang merenggut masa depannya terjadi sekitar tahun 1986. Di mana, saat menginjak bangku sekolah dasar kelas IV, secara pelan namun pasti, kakinya tak mampu menopang berat tubuhnya. Sejak itu, dirinya mengalami kelumpuhan permanen hingga sekarang.

Putri tunggal pasangan Subardi dengan almh Mukiyati ini mengaku, hal yang membuatnya amat bersedih, kelumpuhan yang dialaminya sangat fatal. Segala aktifitas pribadinya harus bergantung orang lain, termasuk buang air. " Semasa simbok (ibu) masih ada, yang membantu ya beliau. Setelah beliau wafat, semuanya dibantu Siti ," ungkapnya.

Sejak mengalami kelumpuhan, ibu kandungnya hanya mampu membawanya berobat ke pengobatan alternatif. Dirinya sama sekali belum pernah menjalani pemeriksaan secara medis, akibatnya, hingga 35 tahun penyakit yang dideritanya tak juga diketahui jenisnya.

Agar tiap saat bisa buang air, Rupini dibawakan pampers oleh Bamset (Foto: Bamset)
Agar tiap saat bisa buang air, Rupini dibawakan pampers oleh Bamset (Foto: Bamset)

Paska meninggalnya sang ibu, otomatis adik tirinya yang mengambil peran. Segala sesuatu yang dibutuhkan Rupini, harus dibantu Siti. Dari hal kecil seperti buang air, hingga buang air besar (BAB). Pasalnya, kondisi gadis tersebut benar- benar sangat menyedihkan. Jangankan untuk beraktifitas, sekedar duduk saja tidak mampu.

Nah, yang jadi masalah, saat Siti mempunyai keperluan di luar rumah hingga berjam- jam dan Rupini kebelet pipis. Mau tak mau, Rupini menahan buang air kecil sampai adiknya pulang. " Pernah Siti menengok mertuanya ke Brebes, saya terpaksa seharian menahan kencing," ungkap Rupini.

Rupini bersama relawan saat akan dimandikan (Foto; Bamset)
Rupini bersama relawan saat akan dimandikan (Foto; Bamset)

Menjalani Pemeriksaan Dokter

Kendati kondisinya lumpuh total, kerennya Rupini mampu membaca Alquran dengan fasih. Menurutnya, kemampuannya tersebut didapat secara otodidak, ditambah belajar dari radio mungil yang setiap saat menemaninya. " Untuk belajar mengaji ke Masjid kan tidak mungkin. Jadi ya belajar sendiri saja," kata Rupini.

Menurut Rupini, saat ini keinginan terbesarnya hanya satu, yakni mampu duduk sendiri tanpa bantuan orang lain. Sebab, bila bisa duduk, dirinya yakin bakal kuat mengerjakan kepentingannya sendiri. " Bagi saya, bisa pipis dan BAB sendiri sudah cukup, saya tak memiliki keinginan yang lain," ungkapnya.

Mendengar penuturan gadis malang itu, spontan Bamset menetapkan Rupini menjadi "anak asuh" komunitas yang dipimpinnya. Terkait hal tersebut, kebutuhan pampers, sembako, radio kecil, kasur, bantal  hingga pispot bakal dipenuhi Relintas. " Akan saya upayakan mendapatkan pemeriksaan secara medis," jelas Bamset.

Mengingat Rupini sangat berharap ada perubahan pada dirinya, Bamset segera mengontak dokter Fitri Anindya.Beruntung, dokter muda tersebut langsung menyanggupinya. Sehingga, setelah menunggu 35 tahun, akhirnya untuk pertama kalinya Rupini menjalani pemeriksaan secara medis.

Rupini usai menjalani pemeriksaan medis (Foto: Bamset
Rupini usai menjalani pemeriksaan medis (Foto: Bamset

Berdasarkan pemeriksaan medis oleh dokter Fitri, ternyata Rupini mengalami leg length discrepancy ( perbedaan panjang tungkai) akut. Akibat terlalu lamanya penyakit itu, kaki dan tangan Rupini menjadi bengkok. " Rupini harus menjalani therapi secara berkesinambungan," jelas dokter Fitri.

Kendati apa yang dijelaskan dokter Fitri bagi orang kebanyakan merupakan hal lumrah, namun, untuk Rupini adalah hal yang sangat luar biasa. Di mana, jangankan kartu BPJS, KTP pun ia tak punya. Untuk menjalani therapy secara umum, biayanya jelas merupakan hal yang mustahil. Duh, bagaimana ini ? Negara, hadirlah. (*)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun