Mohon tunggu...
Bambang Setyawan
Bambang Setyawan Mohon Tunggu... Buruh - Bekerja sebagai buruh serabutan yang hidup bersahaja di Kota Salatiga

Bekerja sebagai buruh serabutan, yang hidup bersahaja di Kota Salatiga

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

"Sentuhan" Kecil Berdampak Besar

31 Desember 2020   15:27 Diperbarui: 27 April 2021   10:08 580
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tongkat kayu untuk Sudarwono agar tak goyah saat berjalan (foto: dok pri)

Sudarwono (67) warga Dusun RT 14 RW 2, Desa Barukan, Kecamatan Tengaran, Kabupaten Semarang adalah seorang duda duafa akut yang tinggal di rumah gubuk berbahan terpal, hampir 19 tahun lamanya menempati rumah tak layak huni tersebut. Sampai akhirnya, Bambang Setyawan menemukannya dan mengubah hidupnya. Seperti apa kisahnya? Berikut laporannya untuk Indonesia.

Awal bulan September silam, Bambang Setyawan alias Bamset yang merupakan penanggungjawab komunitas sosial di Kota Salatiga, tengah menyusuri jalan raya Suruh - Salatiga. 

Sebelum jembatan tol, dirinya melihat rumah yang sangat minimalis. Hanya berukuran 3 X 4 meter, berbahan beragam material bekas seperti terpal, MMT eks spanduk, bambu dan juga kain korden. Tanpa fasilitas MCK serta tak ada lampu penerangan apa pun.

Posisi rumah yang mengenaskan itu, berada di lahan milik negara yang mempunyai sudut kemiringan sekitar 45 derajat. Sedangkan akses memanfaatkan jalan setapak yang bila kurang berhati- hati bakal tergelincir jatuh di kedalaman 50 an meter. 

Karena penasaran, Bamset pun langsung menyambanginya. Sebab, ia menduga gubuk itu mungkin hanya sekedar tempat singgah petani atau pemulung.

Akses menuju rumah Sudarwono, meleng sedikit bablas (foto: dok pri)
Akses menuju rumah Sudarwono, meleng sedikit bablas (foto: dok pri)
Ternyata, dari balik korden lusuh yang difungsikan menjadi penutup pintu, muncul seorang laki- laki bertelanjang dada. Jenggot putihnya terlihat memanjang tak beraturan, sedangkan kulit tubuhnya legam. 

Jalannya terpincang akibat telapak kakinya penuh dengan luka. Ia memperkenalkan dirinya sebagai Sudarwono sekaligus pemilik rumah. " Saya sudah Sembilan belas tahun di sini, kalau tidak salah mulai tahun 2001," jelasnya.

Semakin tertarik dengan pengakuannya, lantas keduanya berbincang di depan rumah gubuk tersebut. Menurut Sudarwono, sebelum menempati rumah minimalis itu, dirinya merantau di Jakarta dan mencari nafkah sebagai tukang becak. 

Karena ada penggusuran becak di ibu kota, akhirnya ia memilih pulang kampung sembari membawa putri satu- satunya. "Sampai di kampung, ternyata warisan orang tua sudah habis dijarah salah satu saudara kandung saya," ungkapnya.

Bamset berbincang dengan Sudarwono di teras rumahnya (foto: dok pri)
Bamset berbincang dengan Sudarwono di teras rumahnya (foto: dok pri)
Karena sudah kepalang tanggung, akhirnya Sudarwono tetap bertahan di kampungnya. Untuk tempat tinggal, ia mendirikan gubuk ala kadarnya di lahan yang mirip tebing. Saat itu, dirinya berfikir hanya sementara waktu. Bila memiliki rejeki, kelak akan membuat rumah yang layak huni.

"Untuk menyambung hidup, saya menjadi pemulung. Sedangkan putri saya tetap meneruskan sekolahnya, kalau malam hari belajar dengan menggunakan lampu penerangan sentir ( lampu berbahan minyak tanah buatan sendiri)," tutur Sudarwono.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun